TEORI KEBUDAYAAN

BENDA SEBAGAI REPRESENTASI

Saefu Zaman

 

Benda atau material bisa menjadi simbol representasi seseorang ataupun masyarakat. Pada masyarakat tertentu, kepemiliki suatu benda yang dianggap bernilai tinggi dalam budaya masyarakat tersebut menjadikan pemiliknya menyandang identitas yang memiliki prestise tinggi. Contoh benda sebagai representasi pada suatu masa terlihat pada tulisan berikut yang menjelaskan representasi walkman dan makanan pada suatu masa di suatu kelompok masyarakat tertentu.


Doing Culture Studies:Sony Walkman

Walkman merupakan sebuah properti yang sangat populer sejak diluncurkannya pada tahun 1979, khususnya pada kalangan anak muda. Walkman menjadi sesuatu yang yang sanga bermakna pada saat itu. Makna walkman sendiri merupakan bentuk representasi, identitas, produksi, konsumsi, dan regulasi.

Secara makna, walkman menandai representasi teknologi tinggi, modernitas, tipikal orang jepang. Walkman juga diasosiasikan dengan anak muda, entertainment, dan recorded music and sound. Makna yang timbul dari walkman sendiri merupakan representasi masyarakat itu sendiri, khususnya kalangan muda.

Walkman sebagai sebuah objek  yang menandai identitas modern ini merupakan hasil konstruksi bahasa. Orang mengenalkan walkman dengan sebutan “this is a portable cassette player”, tidak dengan langsung mengatakan “this is walkman”. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar masyarakat dapat mengontruksikan makna objek tersebut sebagai sebuah portable pemutar kaset/ musik. Jika langsung menggunakan “this is walkman”, orang tidak akan memahami maknanya karena itu merupakn istilah baru untuk sebuah produk.

Keberhasilan representasi dan asosiasi makna walkman akhirnya menjadikan walkman sebagai identitas. Pada akhirnya, Sony Walkman bukan hanya bagian dari budaya, melaikan juga membentuk budaya sendiri. Dia menjadi identitas pemakainya. Dengan keberhasilan representasi walkman sebagai hi tech, portable, free choice, speed, silent privacy, akhirnya walkman pun menjadi representasi kelas sosial tertentu dan membangun prestise tersendiri.

Identitas yang dibentuk oleh walkman tidak pernah tetap atau berubah-ubah. Mulai dari kejepang-jepangan, orang dengan teknologi tinggi, orang yang sporty, gaya hidup, hingga seseorang yang up date pada hiburan dan musik. Namun, dari kesemuaannya itu, walkman mencirikan gaya hidup  masyarakat kelas urban, yaitu menyendiri di tengah keramaian situasi perkotaan dengan Walkman di sebuah taman. Ciri itu menjadi suatu pembeda yang bermakna.

Pembentukan identitas dari Walkman dilakukan melalui praktik wacana. Ada sebuah contoh kalimat iklan yang menunjukkan bahwa seperti apa walkman yang kamu miliki, itulah prestise yang kamu miliki dengan kalimat “Phone your friends and tell them how big your walkman is”. Secara umum, pembentukan identitas dari walkman kepada para penggunannya adalah dengan iklan-iklan yang berprinsip pada penggunaan walkman yang praktis dalam segala aspek kehidupan sehingga walkmania akan memperoleh identitas dari walkman tersebut. Dengan kata lain, dapat disebut Walkman telah menstrukturkan kebudayaan populer bagi masyarakat pada masa itu. Pengaruh kultural Walkman dikonstruksikan oleh agen yang bekerja dalam pasar yang berupa pengonstruksian makna yang diawali dari wacana iklan. Konstruksi ini berlanjut pula secara terus-menerus dalam proses konsumsi massa yang diarahkan oleh regulasi tertentu.

 

Marshall Sahlins: Food

Sahlin menyebutkan bahwa kebudayaan merupakan hasil dari produksi dan reproduksi. Dalam hal ini, Sahlin mencontohkan terbentuknya budaya dari makanan (food).

Harus diakui bahwa masyarakat terbentuk dalam relasi yang terstruktur. Struktur ini menciptakan kelas yang berbeda. Untuk melanggengkan kelas sosialnya, orang golongan atas melestarikan privilese ini ke dalam berbagai hal, salah satunya makanan. Kelas bawah pun menerima ini sebagai konvensi.

Marshall Sahlins membahas food (dalam hal ini daging binatang) yang distrukturalisikan ke dalam tingkatan kelas masyarakat. Kategorisasi ini bisa ditelusuri melalui bagian tubuh binatang yang dikonsumsi oleh orang. Golongan kelas atas akan mengonsumsi bagian tubuh binatang yang baik (edible) seperti steak. Dalam konsumsinya, hal itu telah menjadi konvensi. Orang golongan atas akan memiliki akses konsumsi pada bagian daging yang terbaik. Hal itu juga berlaku pada golongan masyarakat bawah. Golongan ini hanya memiliki akses pada daging dari bagian tubuh binatang yang kurang baik, seperti kaki dan kulit.

Konvensi tentang akses konsumsi yang terbentuk ini sesungguhnya merupakan perwujudan dari kemampuan atau daya beli masing-masing kelas yang kemudian menjadi konvensi di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa representasi dan identitas kelas sosial melekat dalam food. Namun, proses ini tidak terjadi secara given. Dalam food symbolic, representasi dan identitas dikreasikan oleh konvensi sosial yang terjadi di masyarakat. Konvensi sosial ini diwujudkan dalam interaksi yang menyimpan kekuatan dominasi yang diskriminatif.

 

Pembahasan

Pemaknaan walkman dan food dalam masyarakat memiliki kemiripin. Keduanya merupakan material yang dapat merepresentasikan golongan di masyarakat. Namun, golongan yang terbentuk dari keduanya sangat berbeda karena perbedaan kadar kebutuhan dari walkman dan food.

Walkman dengan kekuatannya untuk membangun identitas sosial pada masanya telah membuatnya sebagai salah satu ciri masyarakat yang telah mengenal life style, kaum urban, dan mobile. Walkman mampu membuat pemakainya menjadi kelas sosial yang modern. Namun demikian, walkman tetaplah bukan sebuah kebutuhan utama dalam kehidupan sehingga dalam prosesnya perlu adanya proses perepresentasian diri melalui wacana yang dalam hal ini melalui sarana iklan. Walkman bisa menjadi sebuah identitas sosial setelah terlebih dahulu agen-agen pasar megonstruksi persepsi masyarakat bahwa walkman merupakan representasi dari kehidupan masyarakat modern, Japanese, masyarakat yang mengenal teknologi tinggi, sporty, up to date terhadap hiburan dan musik, mobile, dan privacy. Hanya karena keberhasilan proses representasi inilah, walkman dapat menjadi lambang identitas sosial. Jika proses perepresentasian yang dilakukan oleh agen pasar ini tidak berhasil, walkman hanya akan menjadi material biasa yang tidak berarti apa-apa.

Kasus walkman jelas sangat berbeda dengan kasus food yang ditulis oleh Sahlins. Food adalah kebutuhan pokok masyarakat. Food harus dipenuhi untuk keberlangsungan hidup orang. Kemampuan membeli food yang harus dilakukan setiap hari tentu sangat bergantung pada kemampuan ekonomi/ daya beli masyarakat. Masyarakat golongan atas akan memiliki kemapuan yang mencukupi untuk membeli food dengan kualitas baik, sedangkan masyarakat golongan bawah hanya akan mampu membeli food dengan kualitas menengah ke bawah. Karena kebutuhan akan makanan yang berlangsung secara terus-menerus setiap hari, akhirnya terbentuklah identitas yang merupakan hasil konvensi masyarakat itu sendiri bahwa makanan dengan kualitas yang baik hanya untuk diakses oleh golongan atas, sedangkan golongan bawah pun hanya mengakses makanan dengan kualitas menengah ke bawah (kurang baik) yang sesuai dengan kemampuan keuangannya. Pada kelanjutannya pun penjual akan menyediakan food terbaik hanya pada kalangan atas, dan menjual kualitas bawah pada kalangan bawah. Akibatnya, lama kelamaan golongan kalangan bawah akan benar-benar kehilangan akses pada food dengan kualitas terbaik.

Dari perbedaan pembentukan identitas sosial di atas, dapat kita simpulkan bahwa food membentuk kelas sosial atas-bawah (upper-lower), sedangkan walkman tidak membentuk kelas sosial secara hierarkial (atas-bawah). Walkman hanya membentuk identitas kemodern. Orang yang tidak menggunakan walkman bukan berarti dia berasal dari golongan kelas bawah. Orang yang menggunakan walkman pun tidak bisa diidentikkan dengan golongan masyarakat atas.

Konstruksi budaya yang terbentuk dari walkman dan food pun berbeda. Budaya yang terbentuk dari kebutuhan akan makanan (food) bersifat ajeg yang lama-kelamaan menjadi konvensi, sedangkan budaya yang terbentuk dari walkman tidaklah statis. Budaya bentukan walkman selalu berubah-ubah dan lama kelamaan akan hilang seiring munculnya produk baru yang lebih modern, lebih menunjukkan life style, dan lebih up to date. Itu berbeda dengan budaya bentukan food yang bersifat tetap (ajeg) karena makanan adalah kebutuhan pokok sehari-hari yang akan terus dikonsumsi selama hidup. Walaupun berbagai makanan muncul, kemampuan ekonomi akan tetap menentukan kelas masyarakat atas dan bawah berdasarkan kemampuannya dalam membeli makanan. Sejak dahulu sampai sekarang, masyarakat atas akan mengonsumsi daging dari bagian dan kualitas terbaik dan masyarakat kelas bawah akan selalu mengonsumsi daging pada bagian-bagian yang kurang baik seperti kulit dan kaki yang memiliki harga murah.

Dengan demikian, dapat juga disimpulkan bahwa budaya yang terbentuk dari sesuatu atau material yang merupakan kebutuhan pokok akan lebih kentara, ajeg, dan lama bertahannya dibandingkan dengan budaya yang terbentuk dari material yang hanya sebagai pelengkap, seperti walkman.


Saefu Zaman


Demikian artikel info tentang : , semoga bermanfaat bagi kita semua.

Posting Komentar

 
Top