Prosiding Kolita 19, hal 368--373


 IDEOLOGI KEPEMIMPINAN GUBERNUR DKI JAKARTA PADA MASA PANDEMI COVID-19: SEBUAH KAJIAN ANALISIS WACANA KRITIS

 

Saefu Zaman

saefu.zaman@gmail.com

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

 

Dalam masa pandemi Covid-19, sikap pemimpin daerah menjadi perhatian khusus berbagai kalangan apalagi pada daerah strategis seperti ibu kota negara—DKI Jakarta. Sukses tidaknya penanganan pandemi di Jakarta dipandang terkait erat dengan arahan yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Arahan, baik secara lisan maupun tertulis melalui media massa ataupun media sosial, dalam kajian linguistik dianggap sebagai sebuah teks atau wacana. Dalam pandangan kritis, wacana atau teks tidak hadir dari kekosongan. Ada hal lain di luar teks yang melatarbelakangi terbangunnya sebuah teks atau wacana. Landasan hadirnya teks bisa diuraikan secara tersurat dan secara tersirat. Memahami apa yang melandasi hadirnya suatu teks adalah hal yang perlu dilakukan agar apa yang ada di dalam teks, baik yang tersurat maupun yang tersirat, dapat dipahami secara utuh. Masih dalam pandangan kritis, teks atau wacana juga memiliki ideologi. Ideologi dapat dijelaskan sebagai representasi aspek dunia yang dapat ditunjukkan untuk berkontribusi dalam membangun, memelihara, dan mengubah hubungan sosial kekuasaan, dominasi, dan eksploitasi. Ideologi kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta dalam menyikapi atau memberi arahan terkait Covid-19 berimplikasi pada hubungan sosial masyarakat, hubungan masyarakat-pemerintah, hubungan antarlembaga, dan bahkan hubungan sosial-politik. Ideologi tersebut dapat dianalisis melalui fitur-fitur linguistik yang terdapat teks atau wacana berupa arahan, tanggapan, atau tulisan yang diproduksi oleh Gubernur DKI Jakarta terkait pandemi Covid-19. Penelitian ini bertujuan menjelaskan ideologi kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta dan memaparkan bukti-bukti linguistik yang menunjukkan ideologi tersebut berdasarkan teks atau wacana yang diproduksi terkait pandemi Covid-19. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode yang digunakan adalah analisis wacana kritis dengan menggunakan model Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough (1995). Model Analisis Wacana Kritis Fairclough tersebut melihat teks dalam tiga dimensi, yaitu dimensi tekstual, dimensi praktik wacana, dan dimensi praktik sosial budaya. Data penelitian ini adalah teks/wacana berupa ucapan, arahan, dan tulisan Gubernur DKI Jakarta yang terdapat di media sosial milik Gubernur DKI Jakarta, yaitu Instagram dengan nama akun anisbaswedan. Pemilihan media sosial instagram didasari oleh keaktifan Gubernur DKI Jakarta dalam membagikan kegiatan dan tanggapannya di media sosial tersebut. Data unggahan yang diambil sebagai data analisis adalah unggahan Gubernur DKI Jakarta  terkait pandemi Covid-19 selama kurun waktu berlangsungnya Covid-19: Maret 2020 hingga Februari 2021. Berdasarkan hasil analisis, ideologi kepemimpinan ABW adalah (1) kepemimpinan berdasarkan tindakan nyata; (2) kepemimpinan atas dasar empati; dan (3) kepemimpinan yang “mandiri” atau tidak bergantung pada pemerintah pusat.

 

Kata kunci: Analisis Wacana Kritis, Covid-19, Gubernur DKI Jakarta, Ideologi


Pendahuluan

Bahasa merupakan alat komunikasi yang berfungsi untuk menyampaikan ide, pikiran, ideologi, dan informasi. Sebagai media komunikasi, bahasa memiliki peran yang sangat signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Bahasa dapat menjadi pemerkokoh berbagai aspek kehidupan, tetapi dapat pula menjadi penghancur berbagai aspek kehidupan sosial. Oleh karena itu, penguasa bahasa akan memiliki keleluasaan untuk mengendalikan berbagai aspek kehidupan. Penguasaan bahasa di sini tentunya berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk membangun teks atau wacana di dalam kehidupan sosial masyarakat. Bahasa bisa menjadi perantara pelaksanaan kuasa melalui ideologi dan bahkan dapat digunakan sebagai media untuk mendominasi orang lain.

Ideologi merupakan kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Dalam kaitannya dengan politik, ideologi merupakan himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku politik (KBBI). Ideologi sebagai sistem yang dijadikan pegangan sekelompok orang perlu dikomunikasikan kepada pihak lain yang ingin dipengaruhi, diajak, atau diberi informasi. Penyampaian ideologi kepada pihak lain tentu membutuhkan bahasa sebagai sarana penyampai ideologi tersebut. Bahasa dalam hal ini berwujud teks atau wacana.

Setiap kelompok, baik itu kelompok masyarakat, profesi, mahasiswa, budayawan, keagamaan, maupun partai politik pasti memiliki ideologi yang diusung. Gubernur, sebagai representasi tokoh politik di suatu provinsi, juga memiliki ideologi tertentu. Ideologi gubernur atau pemimpin disebarkan melalui kebijakan-kebijakan dan tanggapan-tanggapan yang disampaikannya kepada masyarakat. Pada masa media sosial seperti sekarang ini, pemimpin banyak menyebarkan kebijakan ataupun tanggapannya akan suatu permasalahan melalui media sosial. Hal tersebut berkaitan erat dengan banyaknya masyarakat, baik yang mendukung maupun yang menentang seorang pemimpin, yang mengikuti media sosial seorang pemimpin. Maka dari itu, media sosial menjadi salah satu sarana yang efektif dan efisien untuk menyampaikan ideologi pemimpin kepada masyarakat sehingga banyak sekali pemimpin ataupun tokoh lain yang aktif menggunakan media sosial.

Berkaitan dengan hal tersebut, untuk dapat menjelaskan ideologi Gubernur DKI Jakarta, telaah analisis wacana kritis terhadap unggahan Gubernur DKI Jakarta pada media sosial dapat menjelaskan ideologi Gubernur DKI Jakarta.

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan teks unggahan Gubernur DKI Jakarta terkait pandemi Cpvid-19 dan menganalisis ideologis yang dimiliki Gubernur DKI Jakarta terkait pandemi Covid-19 dengan menggunakan model analisis wacana kritis yang diajukan Fairclough.

 

Tinjauan Teoritis

Teori yang akan peneliti gunakan adalah teori analisis wacana kritis (AWK) dengan mengambil model analisis Norman Fairclough. Selain itu, pandangan Halliday mengenai linguistik fungsional sistemik juga menjadi acuan peneliti untuk menganalisis dimensi tekstual.

 

        Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough

Analisis wacana kritis atau critical discourse analysis (CDA) merupakan metode analisis teks yang berusaha mengungkap isi teks tidak hanya dari aspek tekstualitasnya, tetapi juga dari hal-hal lain yang mendasari produksi teks tersebut, seperti konteks, intertektual, relasi dengan kuasa, dan aspek sosial-budaya. Analisis wacana kritis mendekati wacana sebagai praktik sosial-budaya. Gejala, peristiwa, aktivitas, tindakan, bahkan aspek psikologi kognitif sosial yang hidup dan terjadi dalam realitas sosial direpresentasikan dalam wacana. Namun, tidak selamanya apa yang terjadi dalam realitas sosial terwakili secara jernih di dalam wacana. Oleh karena itu, tujuan analisis wacana kritis adalah menyingkapkan keburaman dalam wacana (Yuwono, 2016). Analisis wacana kritis (AWK) tidak hanya mendekati dan memahami teks berdasarkan apa yang tersurat di dalam teks, tetapi juga berusaha menunjukkan apa yang tidak tertulis di dalam teks.

Menurut Fairclough (1995), analisis wacana memiliki tiga dimensi kerja, yaitu wacana sebagai teks, wacana sebagai praktik berwacana, dan wacana sebagai praktik sosiokultural. Analisis wacana kritis diawali dengan analisis terhadap struktur teks. Analisis yang dilakukan dalam tahap ini meliputi analisis ideasional, analisis interpersonal, dan analisis tekstual. Hal yang bisa diungkap pada tahap ini meliputi leksikalisasi, pola transitivitas, dan nominalisasi (analisis ideasional); modus dan modalitas (analisis interpersonal); penggunaan aktif-pasif, kohesi, tema, dan informasi (analisis tekstual). Jadi, analisis yang digunakan dalam tahap ini beracuan pada ilmu-ilmu linguistik seperti sintaksis, morfologis, dan semantik. Analisis selanjutnya dalam AWK adalah analisis berdasarkan praktik berwacana. Fairclough berpandangan bahwa wacana bukanlah bentuk yang mandiri. Wacana sangat dipengaruhi oleh konteks, baik itu konteks kebahasaan, konteks sosial, konteks budaya, konteks masyarakat, maupun konteks pemerintahan. Oleh karena itu, analisis wacana kritis juga melihat hal-hal yang berada di luar wacana sebagai unsur yang turut membangun wacana. Fairclough (1995) mengatakan “Critical discourse analysis is viewed as integrating (a) analysis of text, (b) analysis of processes of text production, consumption and distribution, and (c) sociocultural analysis of the discursive.”  Berdasarkan pandangan tersebut, analisis wacana kritis terbangun atas analisis dimensi teks, dimensi praktik wacana, dan dimensi konteks sosio-kultural-historis.

Analisis terhadap wacana meliputi analisis deskripsi teks untuk dimensi teks, interpretasi teks untuk dimensi praktik wacana, dan eksplanasi teks untuk dimensi konteks sosiokultural. Selanjutnya, Haryatmoko (2016: 24) memberikan penjelasan lebih detail mengenai analisis dimensi-dimensi tersebut: (1) analisis teks, hal yang dianalisis adalah perbendaharaan kata yang terkait makna tertentu, penggunaan istilah dan metafora, tatabahasa yang meliputi kata kerja transitif, tema (berkaitan dengan hubungan interpersonal), modalitas, dan kohesi; (2) analisis praktik diskursif/ wacana yaitu melihat kekuatan pernyataan dalam arti sejauh mana mendorong tindakan dan kekuatan afirmatifnya, koherensi teks yang sudah mulai masuk pada wilayah interpretasi; (3) analisis praksis sosiokultural melihat bagian aktivitas sosial dalam praksis. Berikut model analisis wacana kritis Fairclough.


Dimensi Wacana                                           Dimensi analisis wacana

Sumber: Fairclough, 1995: 98)

 

        Linguistik Fungsional Sistemik Halliday

Dalam menganalisis wacana, Fairclough menganggap bahwa wacana bukan sebagai entitas yang independen. Dia menilai wacana merupakan praktik sosial budaya sehingga analisis wacana harus melihat hal-hal lain yang membentuk wacana itu sendiri. Oleh karena itu, Fairclough tidak sependapat dengan linguis lain yang menganggap analisis wacana bisa dilakukan dengan analisis tekstual saja. Hal tersebut terjadi karena di dalam teks terdapat ideologi yang disembunyikan sehingga analisis teks masih kurang memadai untuk mengungkap aspek sosial budaya yang melingkupi wacana secara keseluruhan. Namun demikian, Fairclough juga tidak menafikan bahwa analisis wacana tetap harus melihat unsur tekstual karena teks merupakan representasi dari pembuat wacana.

Untuk mengakomodasi pandangannya, Fairclough mengombinasikan analisis wacana sebagai perpaduan analisis tekstual dan analisis sosiokultural. Fairclough kemudian menggunakan metode analisis teks Halliday tentang linguistik fungsional sistemik yang menurutnya bisa merepresentasikan pandangannya akan pentingnya unsur tekstual dalam analisis wacana. Dalam teori tersebut, dikatakan bahwa analisis teks dan konteks telah tergambarkan pada penjelasan fungsional. Konsep analisis teks dan konteks Halliday adalah context of situation, yaitu analisis melalui sebuah  hubungan  yang  sistematik  antara  lingkungan sosial  pada   satu  sisi  dan organisasi bahasa yang   fungsional pada sisi lainnya.

Halliday (2004) memandang bahwa dalam analisis linguistik, klausa menjadi pusat analisis. Hal itu diyakininya karena klausa merupakan konstruksi yang merepresentasikan apa yang terjadi pada konteks sosial, yaitu pesan, pertukaran, dan representasi. Pertama, klausa sebagai pesan, memandang klausa sebagai pembawa informasi. Informasi dalam klausa bisa dibagi menjadi dua yaitu informasi yang teramalkan-takteramalkan dan informasi yang dikedepankan-dikebelakangkan. Untuk yang kedua bisa kita lihat dari struktur tema-rema pada klausa (secara tematik klausa). Tema adalah informasi yang dikedepankan dalam klausa dan rema adalah informasi yang dikebelakangkan dalam klausa. Kedua, klausa sebagai pertukaran, klausa memiliki empat fungsi utama pertukaran, yaitu tawaran, perintah, pernyataan, dan pertanyaan. Wujud gramatikal klausa sebagai peran pertukaran disebut modus. Ada dua jenis modus, yaitu modus indikatif yang terdiri atas deklaratif dan interogatif dan modus imperatif. Ketiga, klausa sebagai representasi adalah klausa ditempatkan sebagai representasi pengalaman yang berupa proses. Proses membutuhkan partisipan yang terlibat. Ada enam tipe proses, yaitu (1) material (material), (2) perilaku (behavioral), (3) mental (mental), (4) verbal (verbal), (5) relasional (relasional), dan (6) eksistensial (existensial). Hubungan partisipan dan proses disebut dengan transitivitas.

 

 

 

MetodePenelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis teks ini adalah metode deskriptif kualitatif. Penulis akan menganalisis teks secara deskriptif dengan model analisis wacana kritis Fairclough. Data yang digunakan oleh peneliti adalah teks unggahan media sosial Gubernur DKI Jakarta terkait pandemi Covid-19. Data diambil melalui media sosial Gubernur DKI Jakarta dengan nama akun anisbaswedan. Data yang digunakan adalah unggahan yang menggunakan kode ABW yang merupakan penanda unggahan yang ditulis oleh Anis Baswedan.


Hasil Penelitian

Makalah lengkap dapat diunduh pada tautan berikut MAKALAH LENGKAP.

 

Analisis linguistik dalam unggahan Gubernur DKI Jakarta (ABW) pada penelitian ini difokuskan pada analisis klausa sebagai pesan, analisis klausa sebagai pertukaran, dan analisis klausa sebagai representasi.

Pada unggahan status ABW, klausa-klausa pada status ABW menggunakan modus deklaratif. Modus deklaratif tersebut berfungsi menyampaikan atau menjabarkan atau menginformasikan hal-hal yang telah terjadi atau yang dilakukan. Dalam modus deklaratif tersebut, secara transitivitas, tampak banyaknya penggunaan verba material. Verba material menggambarkan bahwa hal-hal yang disampaikan adalah hal yang menunjukkan perbuatan nyata, perbuatan fisik, dan bukan sekadar omongan atau perkiraan semata. Penggunaan verba material yang mendominasi tiap klausa yang dibangun ABW dalam menyampaikan informasi melalui status dapat dilihat dari beberapa klausa berikut.

a)       Kita mencari segala macam cara

b)      Semua upaya dikerjakan untuk meningkatkan kapasitas itu.

c)       Mulai dari usaha membeli ke produsen sampai usaha meminjam alat RT-PCR

d)      DKI Jakarta Tidak Pernah Lelah.

e)       Kami selalu serius

f)       Kami di DKI Jakarta sudah bersiap utk menghadapi masalah ini sebagai urusan yang panjang.

g)      Rumah sakit ini terus menambah kapasitas ICU

Klausa-klausa tersebut memperlihatkan bagaimana DKI Jakarta dan ABW selaku Gubernur DKI Jakarta telah bekerja nyata, melakukan tindakan yang bersungguh-sungguh, dan melakukan perbaikan terus-menerus dalam menangani wabah Covid-19.

Secara struktur tematik, klausa-klausa pada status ABW tersebut tampak mengedepankan “Pemprov DKI, kami, kita, RS (perwakilan pemprov)”. Pengedepanan informasi (tema) menunjukkan bahwa penulis ingin menonjolkan peran atau tindakan yang telah dilakukannya. Informasi berupa tindakan yang dilakukan diletakkan di belakang atau sebagai rema menunjukkan bahwa yang lebih dipentingkan adalah siapa yang melakukannya, bukan yang dilakukan.

 

Klausa berikut ini menunjukkan klausa dengan pola yang berbeda dengan klausa sebelumnya.

a)       Ada 8 kota yang kita kirimi surat, kota-kota maju dunia yang menjadi sahabat Jakarta. Dalam surat disampaikan bahwa Jakarta berencana meminjam alat RT-PCR selama masa pandemi ini saja.

b)      Semua merespon cepat. Mayoritas menjawab bahwa mereka juga sedang mengalami masalah yg sama.

c)       Tapi beberapa merespon positif dan siap membantu.

d)      Mayor Park mengirim pesan bahwa lebih mudah utk menghibahkan RT-PCR daripada meminjamkan

Klausa-klausa tersebut menggunakan modus deklaratif. Secara tematik, klausa tersebut tidak mengedepankan pihak pemprov DKI Jakarta atau yang mewakili. Klausa tersebut mengedepankan pihak lain yang telah dihubungi oleh Pemrov DKI dalam permintaan bantuan. Secara transitivitas, klausa-klausa tersebut menggunakan verba verbal. Verba verbal menunjukkan ucapan atau jawaban seseorang. Secara analisis teks, pernyataan-pernyaaan tersebut menunjukkan bahwa ABW hanya perlu dengan berbicara/berkomunikasi/bersurat sudah mampu mendapatkan respons dari kota-kota maju dunia dan bahkan beberapa kota merespons positif dan memberikan bantuan hibah alat RT-PCR.

Secara proses produksi, klausa-klausa tersebut tidak dapat semata-mata dimaknai secara tekstual. Penjelasan bahwa pemprov DKI mengirimi surat ke kota-kota maju dunia bisa menunjukkan bahwa Pemprov DKI memiliki kapasitas internasional. Pemprov DKI secara mandiri mampu menjalin kerja sama dengan kota maju lain di dunia. Dalam produksi teks tersebut sama sekali tidak menyebutkan “pemerintah pusat” yang berarti bahwa secara produksi teks, klausa-klausa tersebut memang sengaja menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak terlibat, tidak bisa bergerak cepat ke dunia internasional atau bekerja sama dengan pemerintah lain untuk membantu menangani permasalahan pandemi.

Pernyataan “semua merespon cepat dan beberapa merespon positif” menunjukkan makna bahwa sesungguhnya jika dihubungi, pihak luar terbuka untuk membantu. Belum adanya bantuan dari luar negeri, apalagi DKI Jakarta hanya dengan bersurat bisa mendapatkan hibah RT-PCR secara produksi teks dapat dimaknai bahwa pemroduksi teks sedang menunjukkan kelemahan pemerintah pusat yang tidak mampu bergerak cepat dan menjalin kerja sama dengan pihak luar dalam pemecahan masalah pandemi. Informasi tambahan lain yang menyatakan “Mayor Park adalah seorang sahabat baik. Kita sering berinteraksi dalam berbagai kesempatan.” semakin menunjukkan bahwa ABW hanya dengan modal komunikasi dan pertemanan bisa mendapatkan bantuan hibah alat RT-PCR, sedangkan kondisi di dalam negeri saat itu digambarkan oleh ABW dengan “ketersediaan alat RT-PCR di dalam negeri terbatas” yang menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak bisa mencukupi atau mengupayakan kebutuhan alat tersebut.

 

Analisis klausa-klausa pasif dalam susunan inversi dalam status ABW sebagai berikut.

a)       Datanglah sebuah mesin RT-PCR.

b)      Dikirim langsung dari Seoul.

c)       Diantarkan oleh Dubes Korea Selatan ke Balaikota.

d)      Alat ini mampu memproses hingga 900 sampel/hari.

Klausa-klausa pasif tersebut diawali dengan verba material “datanglah, dikirim, diantarkan”. Secara tematik, pengedepanan verba (sebagai tema) menunjukkan bahwa tindakan-tindakan nyata  tersebut adalah hal yang dipentingkan dan perlu mendapat perhatian.

Secara produksi teks, penggunaan bentuk pasif-inversi memang bertujuan untuk menunjukkan hal tersebutlah yang dipentingkan. Namun, mengapa hal tersebut perlu sampai ditonjolkan/dikedepankan? Hal tersebut tidak lepas dari pernyataan sebelumnya yang menyatakan bahwa Pemprov DKI “hanya” bersurat ke kota-kota maju lain—salah satunya Soul. Meskipun demikian, dengan hanya bersurat, pemerintah Kota Soul, Korea Selatan sudah mau membantu secara total dengan “mendatangkan, mengirimkan, bahkan mengantarkan”. Itu menunjukkan bahwa pemroduksi teks (ABW) memiliki pengaruh dan cukup diakui di dunia internasional yang bahkan hanya dengan bersurat, sudah bisa memperoleh alat yang di dalam negeri masih langka. Hal tersebut merupakan “unjuk diri” ABW terhadap pemerintah pusat yang masih belum mampu melakukan penanganan pandemi secara maksimal.

Secara praktik sosial, unggahan status Instagram ABW memiliki praktik sosial politik. Secara politik, ABW yang merupakan Gubernur DKI Jakarta memiliki posisi sebagai pemimpin masyarakat DKI Jakarta, tetapi juga berada di bawah Pemerintah Pusat—Presiden dan jajarannya. Dalam peran sebagai pemimpin warga DKI Jakarta, ABW menunjukkan kepemimpinan yang mengayomi masyarakat dan tenaga medis yang menangani Covid-19 yang dibuktikan dengan tindakan nyata. Tindakan nyata dalam konteks sebagai gubernur dengan meminta RS Cengkareng untuk menambah kapasitas dan menambah tenaga medis menunjukkan bahwa ABW adalah pemimpin yang mengayomi rakyat. ABW menggunakan kapasitas politiknya dengan baik. Imbauan kepada masyarakat untuk menjaga kesehatan, mematuhi protokol kesehatan, serta pemberian semangat kepada para tenaga medis menunjukkan bahwa ABW adalah pemimpin yang juga peduli terhadap masyarakat dan tenaga medis.

Dalam peran politik sebagai bawahan pemerintah pusat, ABW terlihat tidak menganggap adanya pemerintah pusat. ABW yang secara politis didukung oleh oposisi pemerintah pusat membuat pernyataan yang menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak memiliki andil dalam penanganan covid-19 di ibu kota. Pernyataan-pernyaan dengan hanya menyebut “kami, kita, pemprov DKI” tanpa menyebut “pemerintah pusat”, bahkan dalam hal kerja sama dengan Wali Kota Soul yang melalui Duta Besar Korea pun tidak sekalipun menunjukkan keterlibatan pemerintah pusat. Entah memang tidak ada keterlibatan entah memang tidak ditulis keterlibatan pemerintah pusat, pembuatan status yang dibaca publik dengan tidak menyebut “pemerintah pusat” menunjukkan posisi ABW sebagai gubernur yang mandiri atau bahkan memiliki ketidakcocokan dengan pemerintah pusat.

 

 

Simpulan

Dalam unggahan stastus Instagram yang telah dianalisis, ideologi kepemimpinan ABW dapat disimpulkan sebagai berikut.

1)    kepemimpinan berdasarkan tindakan nyata yang ditunjukkan dengan fitur linguistik penggunaan verba material yang mendominasi klausa yang menunjukkan tindakan fisik/nyata Pemprov DKI/ABW.

2)      kepemimpinan atas dasar kepedulian yang ditunjukkan dengan sikap peduli terhadap masyarakat, tenaga kesehatan, dan pihak-pihak yang membantu penanganan Covid-19.

3)      kepemimpinan yang “mandiri” atau tidak bergantung pada pemerintah pusat yang ditunjukkan dengan tidak pernahnya ABW menyebutkan peran pemerintah pusat dalam berbagai proses penanganan covid-19 di DKI Jakarta yang merupakan ibu kota negara.


Daftar Pustaka

 

Fairclough, N. (1992). Discourse and social change. Cambridge: Polity Press.

Fairclough, N. (1995). Critical discourse analysis: The critical study of language. New York: Longman Publishing.

Fairclough, N. (2003). Analysing discourse: Textual analysis for social research. London: Routledge.

Halliday, M.A.K. (2014). Halliday’s introduction to functional grammar (4th ed.). Mattiessen M.I.M (revised). USA and Canada: Routledge.

Haryatmoko. (2016). Critical discourse analysis (Landasan teori, metodologi, dan penerapan). Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Kridalaksana, H. (2008). Kelas kata dalam bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Renkema, J. (2004). Introduction to discourse studies. Amsterdam: John Benjamins Publishing.

Saeed, E. (2015).  A Critical discourse analysis of family and friends textbooks: Representation of genderism. International Journal of Applied Linguistics & English Literature, ISSN 2200-3592 (Print), ISSN 2200-3452 (Online), Vol. 4 No. 4; July 2015.

Van Dijk, T.A. (1980). Macrostructure: An interdisciplinary study of global structures in discourse, interaction, and cognition. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher.

Van Dijk, T.A. (1993). Principles of critical discourse analysis. Discourse & Society  SAGE (London. Newbury Park and New Delhi), vol. 4(2): 249-283.

Widowson, H.G. (2004). Text, context, and pretext. United Kingdom: Blackwell Publishing.

Young, L. & Harrison. C. (2004). Systemic functional linguistic and critical discourse analysis (Ed). London&New York: Continuum.

Yuwono, U. (2008). Ketika perempuan lantang menentang poligami (Sebuah analisis wacana kritis tentang wacana antipoligami). Jurnal WACANA, VOL. 10 NO. 1, APRIL 2008 (1—25), Universitas Indonesia. (http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/download/175/163).

Zaimar, O.K. & Harahap, A.B. (2015). Teori wacana. Jakarta Selatan: Penaku.

 

Unggahan status pada instagram Anis Baswedan pada tanggal 13 Agustus 2020.

Unggahan status pada instagram Anis Baswedan pada tanggal 14 Januari 2021.


Demikian artikel info tentang : , semoga bermanfaat bagi kita semua.

Posting Komentar

 
Top