Ada nasehat ”hati-hati dengan lidahmu!!!!!” adapula ungkapan ”lidah lebih tajam dari pedang”. Tahu mengapa lidah bisa begitu ”menakutkan???”
Sebenarnya bukan lidah dalam arti yang sesungguhnya tapi merujuk pada apa yang dilakukan lidah. Sepertinya sudah banyak sekali bencana akibat lidah, kita sudah sangat paham dengan hal tersebut....
Oleh karena itu, sungguh bodoh ketika kita terlibat sebuah masalah yang mungkin bisa membahayakan diri kita hanya karena kurang bisa mengatur ”lidah” kita....
Bukankah lebih nikmat ketika kita berbicara baik, santun, dan ramah, kita santai orang lain damai....
Bisakah ungkapan ”lidah bisa lebih tajam dari pedang” kita ubah jadi ”lidah lebih licin dari uang (suap)” hehe....” sehingga orang-orang begitu tertarik menyimak apa yang dilakukan ”lidah” kita,,,,
Ya,,,, jawabanya adalah Bisa asal kita tahu ”kesantunan!!!”
Berikut sedikit ”Ilmu Tingkat Dasar” untuk mencapainya.........
Kita namakan Jurus Prinsip, Skala, dan Strategi Kesantunan.....

1. Prinsip Kesantunan

Prinsip kesantunan (politeness principle) itu berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat social, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur (Grice 1991: 308). Alasan dicetuskannya prinsip kesantunan adalah bahwa di dalam tuturan penutur tidak cukup hanya dengan mematuhi prinsip kerja sama. Prinsip kesantunan diperlukan untuk melengkapi prinsip kerja sama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip kerja sama.
Ada beberapa ahli yang mengemukakan konsep kesantunan itu antara lain Lakoff (1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), dan Leech (1993). Pandangan Lakoff (1972) dan Leech (1983) tentang konsep kesantunan dirumuskan di dalam prinsip kesantunan. Sementara itu, Fraser (1978) dan Brown dan Levinson (1978) merumuskan konsep kesantunannya iu di dalam teori kesantunan.
Prinsip kesantunan Lakoff (1972) berisi tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan itu santun. Ketiga kaidah itu adalah:
a. Kaidah Formalitas
Kaidah formalitas berarti jangan memaksa atau jangan angkuh.
Contoh:
• “Cepat bawa bukunya kemari, lama sekali!”
• “Maaf, pintunya dibuka saja agar udaranya dapat masuk!”
Tuturan yang pertama bukan merupakan kaidah formalitas karena tuturan tersebut tidak santun dan angkuh. Sedangkan tuturan yang kedua merupakan kaidah formalitas karena pada tuturan kedua penutur menuturkan tuturan tersebut dengan santun dan menggunakan kata maaf pada saat menuturkan tuturan tersebut.
b. Kaidah Keidaktegasan
Kaidah ketidaktegasan berisi saran bahwa penutur hendaknya menentukan pilihan.
Contoh:
• “Jika Anda tidak keberatan dan tidak sibuk, saya harap Anda bisa datang dalam acara peresmian gedung nanti sore!”
• “Jika ada waktu dan tidak mengganggu, pergilah ke kantor mengambil surat yang tertinggal!”
Kedua tuturan di atas merupakan tuturan yang termasuk dalam kaidah ketidaktegasan karena tuturan di atas adalah tuturan yang santun dan memberikan pilihan kepada mitra tuturnya untuk melakukannya atau tidak.
c. Kaidah Persamaan atau Kesekawanan
Makna kaidah ini adalah bahwa penutur hendaknya bertindak seolah-olah mitra tuturnya itu sama, atau dengan kata lain buatlah mitra tutur merasa senang.
Contoh:
• “Tulisanmu rapi sekali, hampis sama seperti tulisanku.”
• “Tarianmu tadi sungguh memukau.”
Kedua tuturan di atas merupakan tuturan yang memenuhi kaidah persamaan atau kesekawanan karena dalam tuturannya, penutur membuat mitra tutur merasa senang.

Prinsip kesantunan Brown dan Levinson berkisar atas nosi muka, yaitu muka positif dan muka negative (Gunawan 1992: 18).
a. Muka Positif
Adalah muka yang kepada citra diri orang yang berkeinginan atas apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya diakui orang sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, patut dihargai.
Contoh:
• “Saya kagum melihat penampilanmu di atas panggung.”
• “Saya sangat puas dengan hasil kerjamu.”
Kedua tuturan di atas santun karena menghargai apa yang dilakukan mitra tuturnya.
b. Muka Negatif
Adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu.
Contoh:
• “Silahkan jika Anda ingin merokok di sini.”
Tuturan tersebut santun karena penutur membiarkan mitra tuturnya bebas melakukan apa yang sedang dikerjakannya.

Prinsip kesantunan Leech (1983: 132) didasarkan pada kaidah-kaidah, yaitu bidal-bidal atau pepatah yang berisi nasihat yang harus dipatuhi agar tuturan penutur memenuhi prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan tersebut meliputi enam bidal beserta subbidalnya sebagai berikut:
a. Bidal Ketimbangrasaan (tact maxim)
Contoh:
• “Jika tidak keberatan, sudilah datang dalam acara nanti malam!”
Tuturan ini santun karena membutuhkan biaya yang besar bagi diri sendiri dan meminimalkan biaya kepada pihak lain sebagai mitra tutur serta keuntungan yang sebesar-besarnya bagi mitra tuturnya.
b. Bidal Kemurahatian (generosity maxim)
Contoh:
• “Jangan, tidak usah! Biar saya saja yang membuka jendelanya.”
Tuturan di atas santun karena meminimalkan keuntungan kepada diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan kepada mitra tuturnya.
c. Bidal Keperkenanan (approbation maxim)
Contoh:
A : “Tarianmu bagus sekali.”
B : “Ah, tidak sebagus itu, Pak.”
Tuturan antara A dan B di atas santun karena tuturan A meminimalkan penjelekan kepada pihak lain dan memaksimalkan pujian kepeda pihak lain, yaitu mitra tuturnya.
d. Bidal Kerendahatian (modesty maxim)
Contoh:
• “Saya juga masih dalam taraf belajar, Bu.”
Tuturan di atas santun karena meminimalkan pujian kepada diri sendiri dan memaksimalkan penjelekan kepeda diri sendiri.
e. Bidal Kesetujuan (agreement maxim)
Contoh:
• “Saya setuju sekali dengan pendapat Anda.”
Tuturan di atas santun kerena merupakan jawaban dari tuturan mitra tuturnya yang meminimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dan mitra tutur serta memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dan pihak lain.
f. Bidal Kesimpatian (symphaty maxim)
Contoh:
• “Saya sangat turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Adinda tercinta.”
Tuturan diatas santun karena meminimalkan antipati antara diri sendiri dengan mitra tutur dan memaksimalkan simpati antara diri sendiri dengan mitra tutur.

2. Skala Kesantunan
Adalah rentangan tingkatan untuk menentukan kesantunan suatu tuturan, semakin tinggi tingkatan di dalam skala kesantunan, semakin santunlah suatu tuturan.
Ada tiga macam skala yang dapat digunakan untuk mengukur atau menilai keasantunan suatu tuturan berkenan denghan bidal ketimbangrasaan prinsip kesantunan. Ketiga skala kesantunan itu adalah:
a. Skala Biaya – Keuntungan
Makna skala ini adalah semakin memberikan beban biaya (sosial) kepada mitra tutur semakin kurang santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin memberikan keuntungan kepada mitra tutur, semakin santunlah tuturan itu.
Contoh:
• “Tutup pintunya!”
• “Lihatlah film kesukaanmu sedang diputar!”
• “Silahkan dimakan kuenya!”
Tuturan ketiga adalah tuturan yang paling santun di antara ketiga tuturan di atas. Hal itu terjadi karena tuturan ketiga memberikan keuntungan yang lebih kepada mitra tuturnya daripada tuturan yang lain. Tuturan itu juga sama sekali tidak membebani mitra tuturnya biaya. Sedangkan tuturan yang pertama, penutur memberikan beban kepada mitra tuturnya yang membuat tuturan tersebut tidak santun.
b. Skala Keopsionalan
Makna skala ini adalah semakin memberikan banyak pilihan kepada mitra tutur semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya semakin tidak memberikan tindakan kepada mitra tutur, semakin kurang santunlah tuturan itu.
Contoh:
• “Ambillah surat yang tertinggal di kantor!”
• “Jika ada waktu, pergilah ke kantor mengambil surat yang tertinggal!”
• “Jika ada waktu dan tidak mengganggu, pergilah ke kantor mengambil surat yang tertinggal, itu jika kamu mau dan tidak berkeberatan!”
Tuturan ketiga adalah tuturan yang paling santun di antara ketiga tuturan tersebut. Hal itu terjadi karena tuturan ketiga memberikan pilihan di dalam jumlah yang paling banyak diantara tuturan pertama dan kedua.
c. Skala Ketidaklangsungan
Makna skala ini adalah semakin tak langsung, semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin langsung semakin kurang santunlah tuturan itu.
Contoh:
• “Coba ceritakan kronologis kejadiannya!”
• “Bersediakah Anda menceritakan kronologis kejadiannya?”
• “Keberatankah Anda menceritakan kronologis kejadiannya?”
Tuturan ketiga adalah tuturan yang paling santun di antara ketiga tuturan itu. Hal itu terjadi karena tuturan itu lebih tak langsung dibandingkan dengan tuturan lainnya. Jarak tempuh daya ilokusioner dan tujuan ilokusionernya jua paling panjang.

3. Srategi Kesantunan
Ada lima strategi kesantunan yang dapat dipilih agar tuturan penutur itu santun. Kelima strategi itu adalah:
a. Melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa-basi, dengan mematuhi prinsip kerja sama Grice.
b. Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif.
c. Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif.
d. Melakukan tindak tutur secara off record.
e. Tidak melakukan tindak tutur atau diam saja.
Pemilihan srategi itu bergantung pada besar kecilnya ancaman terhadap muka. Makin kecil ancaman terhadap muka makin kecil nomor pilihan strateginya dan makin besar ancaman terhadap muka makin besar pula nomor pilihan strategi bertuturnya.

PRINSIP, SKALA, DAN STRATEGI KESANTUNAN
DAFTAR PUSTAKA
Rahardi, R. Kunjana. 2004. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Dioma.
Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: Semarang Press.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Demikian artikel info tentang : , semoga bermanfaat bagi kita semua.

Posting Komentar

 
Top