(Pendekatan Psikologis)
1.Beberapa Segi Psikologi
Secara etimologis kata psikologi berasal dari kata yunani kuno, yakni psyche bermakna jiwa, roh atau sukma sedangkan kata logos bermakna ilmu jadi psikologi adalah ilmu atau studi tentang jiwa. Dalam perkembangan selanjutnya psikologi ingin membahas sisi-sisi manusia itu dari segi yang dapat diamati. Jiwa bersifat abstrak yang sulit diamati. Memang jiwa dapat diamati melalui gejalanya tetapi ternyata manusia mengalami kesulitan untuk menganalisisnya. Lalu manusia menganggap tingkah lakunya yang dapat diamati itu sebabnya psikologi diberi batasan daris segi tingkah laku. Woodworth dan Marquis (1958 : 7) mengatakan “psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku individu dengan alam sekitar”. Kagan dan Humann (1972:9) berpendapat bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang secara sistematis mempelajari dan mencoba menjelaskan tingkah laku yang dapat diamati dan hubungannya dengan proses mental yang tidak dapat dilihat yang berlangsung di dalam organ dan menggejala keluar dalam lingkungan. Jadi yang menjadi objek psikologi adalah tingkah laku manusia yang dapat diamati.
Tingkah laku atau aktivitas dapat digolongkan atas :
1. Aktivitas gerak (motoric acktivity), yakni aktivitas yang mudah diamati berwujud gerakan baik disadari maupun tidak disadari.
2. Aktivitas kognitif (cognitif activity) yakni aktivitas yang berkaitan dengan pengertian, persepsi penalaran tentang dunia.
3. Aktivitas konatif (conative activity) yakni aktivitas yang berhubungan dengan dorongan-dorongan untuk mencapai sesuatu
4. Aktivitas afektif (Affective activity) yakni aktivitas yang ada kaitannya dengan perasaan.
Keempat kegiatan di atas dapat dikaitkan dengan kegiatan kebahasaan. Misalnya kalau kita menyuruh seorang anak, pakailah baju ini dan kemudian anak tadi melakukan kegiatan memakai, ini berarti anak melaksanakan aktivitas motoris. Kalau kita menyuruh seorang anak untuk membuat batasan kemerdekaan, kemudian anak melaksanakannya berarti anak mengadakan kegiatan kognitif. Kalau kita menjelaskan sesuatu kepada anak, anak terdorong dan berkata “Saya akan berlajar kuat”, berarti anak itu melaksanakan aktivitas konatif. Kalau kita menceritakan sesuatu yang mengharukan, anak tadi meneteskan air mata berarti anak melaksanakan aktivitas afektif.
Untuk melampiaskan rasa senang orang dapat saja menyanyi lagu ini berarti rasa kegembiraan disalurkan melalui aktivitas berbahasa yang berwujud menggunakan kata-kata dalam lirik lagu tersebut.
Dari contoh ini tampak pada kita bahwa cermin mental seseorang yang ditampakkan melalui aktivitas berbahasa.
Aktivitas berbahasa merupakan objek linguistik, sedangkan tingkah laku yang ditampakkan melalui aktivitas berbahasa itu, adalah objek psikologi.
Tingkah laku manusia dapat diwujudkan dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Perubahan tingkah laku berwujud verbal akan terlihat dari penggunaan kata dan kalimat yang bermakna. sedangkan perubahan tingkah laku yang berwujud nonver¬bal akan terlihat dari qerakan alat tubuh.
Oleh karena perubahan lingkah laku yang terlihat secara verbal maupun nonverbal adalah akibat proses yang terjadi pada mental kita. maka ada baiknya kalau kita membicarakan struktur jiwa manusia.
2. Struktur Jiwa Manusia
Apa yang berproses dalam struktur jiwa ini dapat dimanifestasikan dengan menggunakan bahasa. Tentu saja hal itu terjadi apabila kita berada dalam keadaan sadar (= das Bewuszte).
Struktur jiwa manusia terbagi atas tiga bagian, yakni kesadaran mulia (das Ueberlch, super Ego) kesadaran (das Bewowuszte), dan alam bawah sadar (das Unbewuszte, das Es).
Sruktur berikutnya adalah alam kesadaran (das Bewuszte). Dengan adanya alam kesadaran itu, manusia dapat mengamati dunia di luar dirinya dengan menggunakan alat dria, dan dapat memandang ke dalam dirinya sendiri berupa aktivitas retrospeksi.
Struktur bawahnya adalah alam bawah sadar. Alam bawah sadar barisi kompleks-kompleks tertekan, bahan-bahan yang telah dilupakan, dan nafsu-nafsu rendah dan kuno.
Gejala ini mengalami proses penyaringan melalui psiko-sensura dan das vor Bewuszte.
Psikoliguistik berobjekkan bahasa, sedangkan penggunaan bahasa yang menjadi objek psikolinguistik selalu berhubungan dengan alam sadar kita.
3. Perkembangan Pengajaran Bahasa Dilihat dari Psikologi
Salah satu teori yang berkembang di bidang psikologi pada awal abad xx ialah teori Asosiasi. Teori ini mengasumsikan bahwa proses belajar sebuah bahasa melalui pembentukan asosiasi. Apabila seorang anak belajar bahasa. ia melakukan asosiasi kata-kata dan kalimat denqan pikiran, ide-ide kegiatan dan peristiwa atau proses.
Teori asosiasi dalam bidang psikoloqi diterapkan dalam bidang Linguistik khususnya dalam bjdang psikolinquistik.
Dikaitkan dengan teori belajar berdasarkan asosiasi, Sweet (Stern, 1983:317) mengemukakan beberapa prinsip yakni:
a. Sajikan kata atau bahan yang frekuensi penggunaannya tinggi. Misalnya kata duduk, makan, lari.
b. Sajikan kata atau bentuk yanq penqertiannya sama atau prinsip secara bersama-sama. Misalnya kata duduk mirip pengertiannya dengan kata berjongkok.
c. Bedakan kata yanq pengertiannya sama dengan yang tidak sama. Kata berkata-kata sama maknanya dengan kata berbincang-bincang tetapi kata gemuk berbeda pengertiannya dengan kata kurus.
d. Usahakan asosiasi-asosiasi dapat ditentukan. Asosiasi si terdidik terhadap kata miskin dapat ditentukan karena setiap hari si terdidik melihat orang miskin, bahkan kemungkinan dia sendiri anak orang miskin.
e. Sajikan asosiasi-asusiasi itu secara langsung dan konkret. Misalnya, siterdidik mendengar kata kurus. Kita dapat menunjuk sapi yang kurus, sehingqa asosiasi kata kurus secara langsung dilihat.
f. Hindari pertentanqan asosiasi. Misalnya si terdidik mendengar kata pergi dan jalan. Si terdidik mengadakan asosiasi bahwa pergi dan jalan (berjalan) bertentangan.
Menurut Harold Palmer (Stern, 1983 : 317) menekankan faktor si terdidik dalam proses belajar. Dalam analisisnya ia menekankan pentingnya unsur umur, temperamen, motivasi sdan latar belakang pendidkan orang tua. Palmer mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar perlu ada pembiasaan-pembiasaan karena Palmer berpendapat bahwa belajar bahasa tidak lain dari proses pembentukan kebiasaan.kemudian menurut Palmer proses belajar bahasa merupakan proses alamiah dalam usaha manusia untuk menguasai secara spontan ujaran-ujaran.
Seorang tokoh psikologi pendidikan yang bernama Huse (1931) berpendapat bahwa tugas utama belajar bahasa adalah faktor mengingat, yakni belajar mengenal kembali apa yang pernah dituturkan.
Findlay (1932) mengatakan bahwa belajar bahasa tidak lain dari proses meniru tingkah laku pembicara dengan penuh perhatian yang kemudian mempraktekannya berulang-ulangs ehingga menjadi kebiasaan. Percobaan dan mengembangkan apa yang mereka sebut trabsfer belajar (transfer of learning)
Setelah perang dunia II pengajaran bahasa mengalami perkembangan dengam munculnya pandangan Stoff (1946). Stoff mengembangkan pendekatan baru yang disebut pendekatan Aktif dan Kognitif (Stern, 1983-322). Pendekatan aktif dan kognitif ini dilaksanakan dengan jalan,
a) si terdidik mengembangkan pikiran dengan banyak menggunakan bahasa
b) si terdidik dibimbing melaksanakan pengamatan menggunakan bahasa dan \
c) si terdidik diberikan kesempatan luas untuk ikut dalam permainan bahasa.
Pengajaran bahasa di AS pada tahun 40-an dan 50-an dipengaruhi oleh linguistik struktural yang mendapat pengaruh pandangan behavioris dari disiplin psikologi. Pada waktu itu para ahli menganggap bahwa belajar bahasa jedua adalah proses meniru, berulang-ulang, mempraktekkan, pembiasaan, yang kemudian dikukuhkan dan mengadakan generalisasi.
Selain pandangan berhavioris berkembang pula pandangan psikologi pendidikan di AS. Tokohnya antara lain Caroll ynag mengatakan bahwa psikologi pendidikan dapat menhjawab kesulitan yang dialami apabila si terdidik belajar bahasa. Sekitar tahun 60-an mulailah pengaruh psikolinguistik dalam pengajaran bahasa. Pada tahun ini pula muncul metode baru dalam teori pangajaran bahasa, yakni metode audilingual (audilingual method) yang diperkenalkan oleh Rivers.
Dalam kaitan dengan metode audiolingual ini. Rivers (Stern. 1983:325) mengemukakan 4 asumsi psikologis dasar, yakni:
Asumsi I, belajar bahasa asing adalah secara dasar merupakan proses pembiasaan yang mekanis.
Akibat 1: Kebiasaan dikuatkan oleh pengukuhan.
Akibat 2: Kebiasaan belajar bahasa asing secara efektif dibentuk dengan reaksi yang betul, dan bukan oleh pembuatan kesalahan.
Akibat 3: Bahasa adalah tingkah laku, karena itu tingkah laku dapat dipelajari oleh si terdidik.
Asumsi II, keterampilan berbahasa dipelajari lebih efektif apabila butir-butir bahasa asing diberikan secara lisan sebelum bentuk tertulis.
Asumsi III, analogi menunjukkan dasaryang lebih baik untuk belajar bahasa asing daripada analisis.
Asumsi IV, makna yang dimiliki oleh bahasa pada pembicara asli dapal dipelajari hanya dalam matriks perumpamaan ke arah kebudayaan masyarakat pemakai bahasa itu.
Dalam publikasi Rivers pada tahun 1968. ia mengemukakan bahwa belajar bahasa kedua secara fundamental melalui stadia proses, yakni (a) stadia rendah yang merupakan stadia awal di mana psikologi behavioris belajar sudah memadai dan (b) stadia yang memanfaatkan psikologi kognitif dalam proses belajar bahasa.
4. Bahasa dalam Lintasan Psikologi
Pandangan Freud tokoh psikoanalisis yang berpendapat bahwa kesalahankita pada wakju berbicara atau menulis disebabkan oleh faktor-faktor alam bawah sadar, faktor kedalaman emosi.
Yung sebagai pengikut Freud menggunakan asosiasi verbal untuk mendiagnosa kompleks-kompleks emosi. Menurut Yung, orang yang menderita persoalan emosi akan kelihatan dari penyimpanaan-penyimpanan yang dilakukan Ketika ia berkomunikasi.
Pandangan behavioris menyatakan bahwa belajar bahasa harus didasarkan pada pengalaman. Anak harus diberikan banyak rangsangan untuk melaksanakan berbagai aktivitas yang berhubungan dengan bahasa.
Perkembangan bahasa anak dianggap sebagai penanda perkembangan mental anak. Pengukuran pada bidang tes, antara lain dikembangkan oleh Binet (1904) yang meneliti yang penguasaan bahasa pertama dan kaitannya dengan relasi verbal.
Seorang ahli psikologi bangsa Swis yang bernama Plaget (1923) mengemukakan pendapat bahwa perkembangan bahasa dan penggunaannya oleh anak tercermin dalam perkembangan mentalnya. Bahkan karena pengaruh Hipotesis Whorf. Bahasa telah dianggap mempenqaruhi persepsi dan kognisi anak.
Pada pertengahan abad XX, bahasa dianggap sebagai faktor yang sangat menentukan pernyataan kognitif dan afektif seseorang.
Chomsky yang dikulip Ritchle (1978:4) mengemukakan 4 tendensi dalam linguistik dan psikologi yang boleh menimbulkan akibat potensial dalam pengajaran bahasa. Empat tendensi itu, ialah:
a. Aspek kreativitas bahasa. Dengan adanya kreativitas bahasa, manusia dapat menciptakan berbagai konsep melalui bahasa. Dengan kata lain bahasa terbuka bagi manusia untuk menghasilkan lambang-lambang baru karena ada konsep baru muncul dalam otaknya.
b. Keabstrakan representasi linguistik. Lambang yang mewakili pesan seseorang bersifat abstrak. Tidak ada hubungan antara lambang de¬ngan referenya.
c. Keuniversalan struktur linguistik. Setiap bahasa mempunyai unit fonologi, morfologi, dan sintaksis.
d. Peranan organisasi intrinsik dalam proses kognitf.
5. Beberapa Aspek Tata Bahasa Dan Belajar Bahasa
Secara phychographic ada dua cara mempelajari bahasa. Pertama adalah cara yang dilakukan oleh pada anak-anak dari sejak usia dini hingga masa sebelum dewasa. Kedua adalah pembelajaran bahasa pada orang dewasa (adult learner)
Pembelajaran bahasa pada usia anak-anak cenderung hanya mengikuti apa yang di dengar, dilihat dari orang lain dalam pengekspresian bahasa. Cara ini biasa dikatakan sebagai cara membeo, persis sebagaimana anak kecil mempelajari bahasa dari ibunya. Dalam proses ini aktifitas menghapal akan lebih banyak. Pada anak-anak proses ini akan lebih menguntungkan karena pada masa-masa itu kemampuan menghapal lebih menonjol di bandingkan pada saat dewasa.
Pada proses pembelajaran bahasa orang dewasa, aspek logic/nalar akan banyak mempengaruhi proses tersebut. Aspek memory sudah banyak berkurang. Digantikan oleh nalar. Akibatnya pembelajaran dengan cara menghapal akan sangat sulit dilakukan oleh orang dewasa, dan mereka lebih banyak belajar melalui melalui analisa.
Bollnger (1975:285) menyebut 4 macam tata bahasa yang berhubungan dengan perkembangan bahasa anak. Perkembangan bahasa anak ini diperoleh melalui proses belajar bahasa. Keempat tata bahasa dimaksud. yakni (a) holoprastik (holophrastic), (b) penghubung (joining), (c) penyatuan (connective), dan (d) pengulangarT (recursive).
Tata Bahasa Penghubung merupakan awal tata bahasa dalam perkembangan bahasa anak.
Tata bahasa berikut adalah Tata Bahasa Penyatuan Anak .Anak akan mengalami kesulitan karena ia mulai menggunakan kata-kata yang lebih dari dua kata. Pada tahap ini anak mulai berkenalan pula dengan persoalan kearbitreran kata.
Pada tata bahasa ini anak akan menemui persoalan yang berhubungan dengan konsep jamak, tenses, harmonisasi antara bentuk kata kerja dengan tenses, keserasian (agree¬ment) antara orangan dengan kata kerja. Jadi, anak tidak berhubungan dengan persoalan menyatukan unsur-unsur ketatabahasaan, tetapi ber¬hubungan dengan persoalan tata bahasa itu sendiri.
Tata bahasa terakhir yakni Tata Bahasa Pengulangan. Anak mengulangi pengalamannya dalam menuturkan sesuatu. Dengan jalan mengulangi apa yang didengarnya, anak akan dapat membedakan bentuk yang gramatikal dan yaang tidak.
6. Model Belajar Bahasa
Menurut Stern (1983:337-341) ada lima variabel yang perlu diperhatikan kalau kita membicarakan model belajar bahasa. Kelima variabel itu, ialah (1) konteks sosial, (2) karakteristik si terdidik (3) kondisi belajar. (4) proses belajar. dan (5) hasil belajar.
Keadaan sosial mempengaruhi kondisi belajar dan karakteristik si terdidik. Keadaan sosial yang berhubungan dengan faktor-faktor ekonomi, budaya, dan bahasa, turut mempengaruhi proses belajar bahasa. Dapat di lihat apabila anak berasal dari status ekonomi baik pengusaan bahasanya akan lebih cepat dari pada anak yang tinggal dalam lingkungan kurang baik.
Variabel kedua yakni karakteristik si terdidik, yang berhubungan dengan karakteristik si terdidik adalah umur, karakteristik kognitif, karakteristik afektif dan karakteristik kepribadian. Berdasarkan karakteristik si terdidik adalah umur, hal ini bararti orang yang berumur lebih tua labih mudah di beri pembelajaran dari pada orang yang lebih muda. Karakteristik kognitif berarti apabila orang yang mempunyai intelegensi tinggi biasanya lebih cepat menerima dan menyerap pembelajaran dari pada orang yang mempunyai intelejensi rendah. Karakteristik afektif ini berhubungan dengan faktor emosi yang turut menentukan faktor belajar, jadi apabila seorang anak mempunyai keberanian yang lebih maka dia akan berani menampakan diri dalam praktek berbahasa. Hal ini akan memunculkunkan karakteristik kepribadian mereka.
Variabel ketiga yang mempengaruhi model belajar bahasa adalah kondisi belajar. Apabila kondisi belajar mendukung maka proses belajar lebih mudah jika dibandingkan dengan kondisi belajar yang tidak mendukung.
Variabel keempat, yakni proses belajar. Proses belajar berkaitan dengan strategi, teknik dan pelaksanaannya.
Anak harus diberikan kesempatan untuk melakukan percobaan, pengamatan sendiri menghadiri sesuatu membedakan, meniru, mengingat, melatih berbagai keterampilan, mengambil kesimpulan, menduga. membandingkan, membentuk hipotesis, memeriksa, membuat penilaian, dan membuat sendiri.
Variabel terakhir. Yakni hasil belajar. Hasil belajar berhubunqan dengan kompetensi dan performansi. Kompetensi berhubungan dengan kematangan si terdidik menguasai kaidah bahasa yang dipelajari. Kaidah bahasa ini akan menampak pada performansi terdidik, Performansi berkaitan dengan kecakapan dan ketuntasan menggunakan kaidah bahasa sehingga penggunaan bahasa itu sesuai dengan situasi dan kaidah yang benar, kalau si terdidik belajar bahasa Indonesia, maka hasil belajarnya adalah kemantapannya dalam penggunaan kaidah bahasa ketika Ia berkomunikasi secara resmi.
Banyak faktor yang mendukung dan mempengaruhinya. Faktor-faktor itu, misalnya (i) tujuan yang hendak dicapai, (ii) tingkat kesukaan bahan, (iii) metode. (iv) linqkungan, (v) motivasi siterdidik sendiri, (vi) inteligensi, (vii) latar belakang sosial-ekonomi orang tua si terdidik, dan (viii) peranan orang tua dan guru sebagai pendidik.
7. Kondisi Belajar dan Proses belajar Bahasa
Stern (1983:391) berpendapat bahwa proses belajar ditentukan (i) karakteristik si terdidik, (ii) konteks sosial dan (iii) kondisi belajar.
Kondisi belajar dapat dilihat dari dua segi yakni (i) sifat, dan (ii) faktor. Yang berhubungan dengan sifat, yakni apakah proses belajar bersifat formal atau nonformal dan yang berhubungan dengan faktor. Yakni faktor dalaman" (intern dan faktor luaran (ekstern).
Kondisi belajar dapat dilihat pula dari segi faktor yang mempengaruhinya. Di sini dikemukakan dua faktor yakni faktor dalaman dan faktor luaran. Faktor dalaman. Misalnya yang berhubungan dengan inteligensi, motivasi, dan sikap.
Dalam hubungan ini Stern (1983:397-399) berpendapat bahwa si terdidik bahasa kedua harus menguasai domain afektif kognitif, dan konsekuensi sosial.
Kontak yang buruk dan ketidakhadiran sistem acuan yang aman menyebabkan si terdidik menderita shok emosi. Schumann (1975) yang ber-pendapat sama dengan Larson dan Smalley (1972) yang dikutip Stern (1983:398) menyebut tiga shok emosi. Yakni (i) shok budaya, (ii) shok bahasa, dan (iii) stres budaya. Yang dimaksud dengan shok di sini adajah pengalaman pada awal-awal mempraktekkan bahasa terutama ketika si terdidiktiba-tiba tertarik pada lingkungan bahasa kedua.
Faktor kedua, yakni kognitif yang mengisyaratkan bahwa si terdidik mengalami orientasi yang keliru terhadap penguasaan semua tataran linguistik, dan aspek-aspek sosiolinguistik bahasa kedua.
Faktor ketiga yakni konsekuensi –konsekuansi sosial
Proses belaiajiberkembjang melalui beberapa tahap. Tahap kompetensi perantara disebut kompetensi transisional (transitional competence) oleh Corder atau interbahasa (intarlanguage) oleh Selinker.
Dalam hubungan ini Stern (1983:399) menyebutkan 4 kompetensi. yakni (i) kompetensi formal (ii) kompetensi semantik, (iii) kompetensi berkomunikasi. dan (iv) kreativitas.
Rivers (1972) yang dikutip Stern (1SS3: 399) menggunakan istilah fase menerima keterampilan (phase of skill-getting) dan (fase menggunakan keterampilan (phase of skill-using) Valette dan Disick yang dikutip Stern (1983:399) menyebutkan 4 akuisisi dalam proses belajar bahasa, yakni (i) menguasai bunyi bahasa, (ii) menguasai bentuk kata (iii) menguasai kalimat, dan (iv) menguasai makna.
Banyak kesulitan yang dihadapi si terdidik untuk belajar bahasa kedua. Analisis kesalahan dan studi interbahasa telah banyak dilakukan untuk mengatasi proses belajar bahasa kedua. Pendidikan bahasa antara tahun 1900 dan 1980 dan penilitian belajar bahasa yang dilakukan antara tahun 1950-1980 telah mencoba mengelompokkan tiga persoalan utama proses belajar. Ketiga persoalan itu, yakni (i) perbedaan antara dominasi yang tak dapat dihindari yang terdapat dalam otak si terdidik yang mempelajari bahasa pertama dengan ketidakcakapan siterdidik menguasai bahasa kedua. persoalan hubungan L1-L2 (ii) pilihan implisit-eksplisit dan (iii) dilema komunikasi dengan kode.
Carton (Stern 1983:403) menngemukakan konsep inferensi (inferencing) konsep inferensi mendorong Krashen mengusulkan teori monitor yang membedakan belajar bahasa (pandangan eksplisit) dengan akuisisi bahasa (pandangan implisit). Proses belajar bahasa leih bersifat disengaja, sedangkan proses akuisisi bersifat sesuatu yang datang dengan sendirinya kalau kematangan telah tiba dan lingkungan mendukung.
Persoalan ketiga yakni dilema komunikasi dengan kode. Bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Ini membawa kepada persoalan kode yang dipelajari dalam lembaga formal. seharusnya kode itu yang digunakan untuk berkomunikasi. Kenyataanya tisdaklah demikian. Kode yang digunakan rupanya harus tunduk pada variasi yang disesuaikan dengan situasi.
Dalam kaitan dengan proses belajar bahasa perlu diperhatikan strate yang diterapkan. Stern (l983:414- 415) menyebutkan 10 strategi dalam proses belajar bahasa. Kesepuluh strategi itu, yaitu:
1. Strategi perencanaan :strategi belajar positif
2. strategi aktif: pendekatan aktif dalam tugas belajar
3. Strategi empatik
4. Strategi formal: bagaimana mempelajari bahas
5. strategi eksperimantal
6. Strategi semantik
7. Strategi praktis: keinginan untuk mempraktekan
8. Strategi komunikasi: keinginan untuk menggunakan bahasa dalam kehidupan yang nyata
9. Strategi monitor: monitor sendiri dan mengkritik penggunaan bahasa dan
10. Strategi internalisasi : pengembangan bahasa kedua
Kalau strategi ini dihubungkan dengan ciri si terdidik yang baik. Maka yang dikutip Stern (1983:414) menyebut 7 ciri si terdidik yang baik ketika melaksanakan proses belajar. Ciri itu ialah (i) mau dan seorang penerka yang baik (dapat menerka bentuk yang gramatikal dan yang tidak), (ii) suka berkomunikasi (iii) kadang-kadang tidak malu terhadap kesalahan dan siap memperbaikinya dan suka mengikuti perkembangan bahasa, (v) praktis (vi) mengikuti ujaran nya dan membandingkannya dengan ujaran yang baku dan (vii) mengikuti perubahan makna karena kontek sosial.
Keberhasilan proses belajar ditunjukan oleh ketuntasan si terdidik berbahasa yang baik dan benar. Proses belajar itu sendiri berkembang dari tahap yangsatu ke tahap berikutnya dan penguasaan si terdidik sendiri makin lama makin kompleks.
Simpulan
Proses belajar bahasa merupakan proses alamiah dalam usaha manusia untuk menguasai secara spontan ujaran-ujaran. Psikologi berkaitan dengan studi tingkah laku manusia hasil proses mental. Itu sebabnya psikologi kadang-kadang dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan mental dan individual. Salah satu pembeda antara makluk manusia dengan makhluk lain, yakni bahasa dan lebih-lebih lagi yang berhubungan dengan ujaran. Oleh karena melalui ujaran, kita dapat mengenal seseorang, maka bahasa menjadi alat bagi psikologi atau menjadi perantara.
Kondisi belajar dapat dilihat dari dua segi yakni sifat dan faktor. Yang berhubungan dengan sifat, yakni apakah proses belajar bersifat furmal atau non formal dan yang berhubungan dengan faktor, yakni faktor dalaman dan faktor luaran. Dengan adanya kondisi formal, si terdidik belajar bahasa secara teratur, terprogram, dan terkontrol, sedangkan pada kondisi nonformal si pendidik akan menemui aneka bahasa yang hidup di sekitarnya dan proses belajar itu sendiri bergantung pada upayanya.
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik. Jakarta : Yayasan obor Indonesia.
http://www.ialf.edu/bipa/april2000/perananguru.htm
http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online.php?menu=bmpshort_detail2&ID=265
http://farhanzen.wordpress.com/2007/12/13/hakekat-belajar/
Pateda, Mansoer. 1990. Aspek-aspek psikolinguistik. Flores : Nusa Indah.
Tarigan, Henry Guntur.1984. Psikolinguistik. Bandung : Angkasa.
Posting Komentar