Arif meminta ijin untuk ikut kegiatan kemah dari sekolah. 
Arif memandangku penuh harap.

“Boleh ya, Bunda?”

Aku tersenyum mengangguk. Arif tersenyum lebar dan memelukku. Sesaat kemudian dia memandangku lagi, kali ini dengan tatapan khawatir.

“Tapi Bunda bagaimana? 

Bunda jadi sendirian dong di rumah?”

Giliran aku yang memeluknya erat. Kuciumi kepalanya yang berambut cepak.

“Bunda tidak apa-apa kok. Selama ini kan Arif sudah menemani dan membantu Bunda. Sekali-sekali Arif berkumpul dan bersenang-senang dengan teman-teman pramuka.”

Memang benar. Anakku semata wayang ini selalu berusaha menggantikan peran ayahnya yang meninggal dua tahun yang lalu. Sepulang sekolah Arif menggantikanku menjaga toko, sementara aku menyeterika baju-baju pelanggan yang sudah kering dijemur. Sore menjelang maghrib Arif berkeliling mengantar baju-baju sekaligus mengumpulkan baju-baju kotor dari pelanggan-pelanggan yang sebagian besar adalah tetangga kami. Sebenarnya aku tidak tega melihat tubuh kecilnya harus membawa bungkusan besar baju di tangan kanan-kiri dan tas ransel di punggungnya, tetapi Arif bersikeras melaksanakan tugas yang dia anggap jadi kewajibannya.

“Arif kan laki-laki sejati Bunda!” Katanya sambil menunjukkan otot lengannya yang mungil setiap kali aku khawatir.

Malam hari, Arif juga yang selalu mengunci gembok pintu pagar, memeriksa dan menutup semua jendela, persis seperti yang selalu dilakukan almarhum ayahnya.

***

Sejak ayahnya meninggal, Arif berubah menjadi anak yang penurut, sangat penurut, bertanggung jawab dan menjadi lebih dekat denganku. Sebelumnya dia hanya dekat dengan ayahnya. Mungkin karena aku cerewet sedangkan Mas Rahman tidak pernah sekalipun memarahinya. Sebagai anak tunggal, Arif sering bersikap rewel dan maunya sendiri. Meskipun tidak selalu menuruti kemauan Arif, Mas Rahman tidak pernah sekalipun bersikap keras kepadanya.

“Sekali-sekali Ayah harus tegas kepada Arif, biar dia tidak manja!”
“Nggak kok, Bunda, Arif nggak manja. Apa yang dia lakukan, apa yang dia minta sesuai dengan usianya.”
“Tapi dia suka merajuk kalau kemauannya tidak terpenuhi, maunya sendiri. Belum lagi sikap kerasnya di sekolah, sering berkelahi dengan teman-temannya,” aku ngotot dengan pendapatku.
“Kita sudah memberinya makanan yang halal. Kita sudah memberinya teladan yang baik. Selebihnya pasrahkan saja kepada ALLOH. Ayah yakin pada waktunya nanti Arif pasti berubah.”

Apa yang diyakini Mas Rahman benar-benar terjadi, sayang dia tidak bisa menyaksikannya.

Meskipun tidak pernah memarahi dan menegur, Mas Rahman sangat kuat menanamkan prinsip-prinsip seorang lelaki kepada Arif. Seminggu sekali Arif selalu diajak latihan Tae Kwondo dan berenang. Kebetulan Mas Rahman adalah ahli dan menjadi pelatih pada dua bidang olahraga tersebut. Sering juga Arif diajak main bola dan bulutangkis bersama-sama para pemuda karang taruna kelurahan. Kemampuan lebih Mas Rahman di bidang olahraga membuatnya dipercaya para pemuda untuk membina karang taruna.

“Arif harus menjadi lelaki sejati, tabah, kuat, dan bertanggung jawab.”
“Siap, Yah!”

Setiap hari sepulang sholat Isya’, Mas Rahman selalu bercerita tentang perjuangan-perjuangan para pahlawan, baik sejarah Indonesia, shirah Nabi dan para sahabat Nabi, maupun perjuangan rakyat negara lain seperti Palestina dan Afganistan. Mas Rahman bercerita dengan penuh perasaan dan ekspresi. Arif pun memperhatikannya dengan serius dan semangat.

Pernah saat menceritakan perjuangan dan penderitaan rakyat Palestina, Mas Rahman menitikkan air mata.

“Ayah…! Katanya lelaki harus tabah, kok Ayah menangis?”
Mas Rahman tersenyum. Aku merasakan tatapan bangga di mata Mas Rahman.
“Arif, air mata ini air mata kasih sayang. Ayah sangat menyayangi saudara-saudara kita di Palestina, dan Ayah sangat sedih atas penderitaan yang mereka alami.”

Arif diam tidak menanggapi, tetapi dari ekspresi wajahnya tersirat bahwa dia masih bingung, belum puas. Mas Rahman membaca kebingungan Arif dan meneruskan penjelasannya.

“Yang tidak boleh itu air mata cengeng. Air mata yang jatuh karena mengasihani diri sendiri. Orang cengeng sibuk mengasihani diri sendiri sehingga tidak sempat memikirkan kepentingan orang lain. Sebaliknya seorang pejuang sibuk memikirkan kebahagiaan orang banyak sehingga lupa akan kepentingannya sendiri. Baginya berkorban adalah keharusan dan syahid jadi tujuan”.

Meskipun dari tatapan matanya kelihatan masih bingung, Arif manggut-manggut dengan tampang seakan-akan mengerti. Gemas melihat sikapnya, kudekap dan kuciumi kepalanya. Arif berontak melepaskan diri.

“Ah Bunda mengganggu aja, Arif kan ingin mendengar kelanjutan cerita Ayah!”
Begitulah Arif sangat antusias mengikuti dan menikmati setiap kegiatan bersama ayahnya. Begitu pula dengan Mas Rahman, selalu berusaha meluangkan waktu bersama Arif. Bahkan sering Mas Rahman mengajak Arif saat bekerja menjalankan angkot.

***

Rasanya baru kemarin terjadi, saat aku harus mengidentifikasi jenazah Mas Rahman di rumah sakit. Menurut cerita polisi, Mas Rahman terluka parah saat melawan empat orang pencopet yang sedang beraksi di angkotnya. Dua dari pencopet berhasil dilumpuhkan Mas Rahman, sisanya melarikan diri. Tetapi karena banyaknya luka tusuk yang diderita, Mas Rahman meninggal kehabisan darah setibanya di rumah sakit.

Jiwaku limbung. Kutumpahkan air mataku dalam shalat malamku. Kucurahkan semua kesedihanku kepada Tuhan Yang Maha Penyayang. Siang hari kuhabiskan air mataku dengan membaca Al Qur’an.

Sampai suatu malam, beberapa hari sepeninggal Mas Rahman, seperti ada kekuatan lain yang membelokkan arah kakiku, sesudah berwudhu aku masuk ke kamar Arif. Kulihat tubuh mungil itu tidur meringkuk. Dari tarikan napasnya yang tidak teratur aku tahu bahwa Arif belum terlelap. Wajah anakku tampak lebih kurus dan pucat.

“Arif belum tidur, Nak…?” kubelai kepalanya dan kukecup keningnya. Arif mengangguk sambil membuka matanya yang cekung. Bibirnya tersenyum, tetapi pancaran matanya sangat redup, hampir tak kutemukan cahaya di dalamnya.

Ya ALLOH, aku terlalu larut dalam kesedihanku sendiri, sehingga tidak peduli bahwa ada yang menanggung kesedihan tidak kalah besar denganku. Anakku yang baru berusia enam tahun harus menanggung beban kesedihan yang berat.

“Tidurlah, Nak…Sudah lewat tengah malam.”
“Arif kangen Ayah, Bunda…” Suara Arif bergetar. Aku tersadar bahwa sejak meninggalnya Mas Rahman, Arif tidak menangis sekalipun. Atau aku saja yang tidak mengetahui saat dia menangis.
“Menangislah bila ingin menangis, Nak…!”
“Tapi Bunda…, Ayah ingin Arif menjadi lelaki yang tabah dan kuat.”
Aku tak kuasa lagi menahan jatuhnya air mataku.

“Ayah kan juga pernah bilang, bahwa tidak apa-apa menangis karena rasa sayang… ”.

Entah karena kata-kataku, atau karena melihatku menangis, Arif mendekapku dan menangis tersedu. Kubiarkan dia menumpahkan air matanya di dekapanku. Ingin kuserap semua duka yang membebani jiwanya. Beberapa menit kami berdekapan larut dalam tangis.

“Arif minta maaf Bunda, bila selama ini sering membuat Bunda sedih dan kecewa.” Setelah tangisnya reda, Arif berkata dengan suara serak dan terbata-bata.
Aku tidak menjawab, hanya membelai lembut kepalanya.
“Arif janji, mulai saat ini Arif akan selalu menjaga dan membahagiakan Bunda.”

Sekali lagi aku tidak menjawab, bersyukur di dalam hati, ”ALHAMDULILLAH ya ALLOH atas anugerah anak yang sholih, semoga hamba bisa menjaga amanah ini.”

Setelah malam itu, berangsur-angsur keceriaan Arif pulih seperti sedia kala, meskipun beberapa kali kutemui dia menangis saat membaca Al Qur’an di kamarnya.

Sikap dan sifat Arif berubah. Menurut cerita wali kelasnya, Arif berubah menjadi suka menolong teman-teman dan gurunya, terutama di bidang yang dia kuasai, olahraga. Tidak pernah lagi dia berkelahi dengan temannya.

***

Aku membantu Arif mengemasi perlengkapan untuk berkemah esok pagi.

“Bunda, Ayah meninggal syahid, ya?”

“Insya ALLOH, Nak…Ayah kan meninggal saat membela orang yang lemah dan melawan kejahatan.”
“Syahid itu enak ya, Bunda?”
“Tentu saja. Setiap orang beriman pasti menginginkan syahid, karena banyak sekali kemuliaan yang didapat orang yang mati syahid.”

“Arif ingin syahid juga, Bunda.”

Aku berhenti melipat baju, duduk mendekati Arif dan membelai kepalanya.
“Berdoalah, Nak…Doakan Bunda juga, ya…”

Hampir semalaman aku tidak bisa tidur di kamar Arif. Kupandangi wajah anakku yang tertidur pulas. 

Aku sangat bangga dan bersyukur memiliki anak yang sholih, harta yang tak ternilai, belahan jiwaku. Untuk pertama kalinya aku harus merelakan belahan jiwaku berkemah bersama guru dan teman-temannya. Berat sekali, tapi aku harus melakukannya, karena Arif harus belajar menjadi lelaki yang tangguh dan mandiri. Aku tidak ingin Arif tumbuh menjadi lelaki yang lemah dan tergantung pada ibunya.

***

Pagi-pagi sekali aku berangkat ke pasar karena aku tidak mau kehabisan lidah sapi. Hari ini aku akan masak semur lidah, masakan kesukaan Arif. Sore nanti waktunya Arif datang dari berkemah.

Kubayangkan betapa lahapnya nanti dia menikmati semur lidah setelah beberapa hari makan makanan yang terbatas di perkemahan. 

Saat becak yang kunaiki sampai di mulut gang, hatiku berdesir, perasaanku tidak enak melihat kerumunan orang memenuhi gang rumahku. Tampak sebuah ambulan diparkir beberapa meter dari mulut gang. Berdebar-debar aku berjalan cepat menembus kerumunan orang, para tetanggaku. Sebagian ibu memelukku, “Yang sabar Bu Rahman…”. Hatiku semakin tak karuan, langkahku kupercepat.

Sesampai di depan rumah, jantungku seperti berhenti berdetak. Di kursi teras rumahku tampak terbaring tubuh mungil Arif anakku. Aku memburu mendekat, tak kuhiraukan lagi barang-barang belanjaanku. Tubuh anakku terbujur kaku, beku.

”Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun.” Lidahku kelu. Bu Anna wali kelas Arif mendekapku sambil menangis.

“Maafkan kami, Bu Rahman, kami tidak bisa amanah menjaga Arif…” 

Terbata-bata dia kemudian menceritakan kejadian yang menimpa Arif. Empat orang teman Arif berbuat nakal. Mereka main di sungai, padahal sudah dilarang oleh bapak guru pembina Pramuka. Tiba-tiba datang air bah, bapak-bapak guru berusaha menyelamatkan anak-anak yang hanyut, tetapi karena jumlah Bapak guru yang terbatas, ada satu anak yang tidak sempat diraih bapak guru. 

Arif berenang berusaha menyelamatkan temannya. Temannya berhasil dibawa ke pinggir, tetapi karena arus yang sangat deras, dan tubuh mungil Arif kehabisan tenaga, justru Arif yang terbawa arus. 

Tubuhnya baru bisa diselamatkan sekitar satu kilometer dari tempat kejadian karena tersangkut di akar pohon tepi sungai.

Aku hanya terdiam mengusap wajah anakku yang dingin. Kubelai rambutnya yang basah. Kucium keningnya sambil bergumam lemah, “Selamat jalan anakku…Insya ALLOH kau sudah bertemu syahid. 

Izinkan Bunda menangis…Air mata ini air mata sayang, Nak….”

Menangis
Menangis
***
Cerpen Fiksi NM. Dian


Demikian artikel info tentang : , semoga bermanfaat bagi kita semua.

Posting Komentar

 
Top