Sistem Toponimi Desa di Kabupaten Kebumen

Saefu Zaman

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

saefu.zaman@gmail.com

 

Abstrak

Desa adalah wilayah administratif yang terkecil dalam sistem kenegaraan di Indonesia. Setiap desa memiliki nama dan biasanya nama-nama tersebut memiliki kaitan dengan bahasa dan budaya masyarakat yang menempati wilayah tersebut. Kabupaten Kebumen merupakan salah satu kabupaten di wilayah Jawa Tengah yang memiliki 449 desa. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sistem toponimi desa yang ada di Kebumen. Penelitian ini bisa digunakan sebagai awal penganalisisan sistem toponimi desa atau geografi di wilayah Jawa secara keseluruhan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa toponimi desa-desa di Kabupaten Kebumen secara umum dapat dikelompokkan ke dalam beberapa aspek, yaitu aspek alam, hewan, tumbuhan, hidrologis, dan harapan. Aspek-aspek itu terlihat dari nama-nama berikut, (1) Nama yang berkaitan dengan hewan: Buayan, Ayam Putih, Bulus Pesantren, Kawedusan; (2) tumbuhan: Sekarteja, Babadsari, Kembang Sawit, Pucangan, Jati Jajar (3) benda alam: Karang Tanjung, Krakal, Pasir, Watukelir; (5) harapan: Adimulyo,  Arjomulyo, Sidamukti, Sidamulyo, Sugihwaras, Kutowinangun, Sinungreja, Kuwarasan, Podourip. Aspek unsur alam adalah yang palin dominan. Aspek harapan yang juga banyak ditemui menunjukkan bahwa masyarakat Kebumen sejak dulu sudah memiliki budaya berupa keyakinan bahwa nama akan membawa pengaruh pada penyamdang nama sehingga dengan pemberian nama berupa harapan, seperti  mulyo, rejo, winangun, mukti, dan waras diharapkan penduduk yang tinggal di wilayah tersebut akan memperoleh kebaikan sesuai harapan tersebut.

 Kata Kunci: desa, budaya, Kebumen, toponimi,  

 

Pendahuluan

Manusia untuk berbagai kepentingannya selalu memberi nama terhadap segala unsur yang ada di muka bumi atau biasa disebut dengan istilah rupa bumi. Nama merupakan tanda yang menunjukkan bahwa manusia telah memiliki usaha mengidentifikaskan dirinya ataupun alam sekitarnya. Identifikasi ini sangat penting dan berguna bagi manusia karena dengan nama, orang bisa menunjuk, merujuk, dan berkomunikasi dengan manusia lain.

Pentingnya nama telah mendasari sebuah pengkajian tentang nama dan penamaan yang ada di dunia. Bidang kajian tentang nama ini biasa disebut dengan onomastik. Dalam bidang ini, penamaan biasanya dibagi atas dua cabang, yaitu antroponym dan toponim. Antroponim adalah pengetahuan yang mengkaji riwayat asal-usul nama orang atau yang diorangkan, sedangkan toponim adalah pengetahuan yang mengkaji riwaat atau asal-usul suatu tempat (Rais, 2008: 53—54).

Tulisan ini mengkhususkan pengkajian terhadap toponim atau penamaan tempat. Seperti yang kita tahu, dunia memiliki topografi yang sangat beragam. Ada darat, laut, gunung, permukiman, hutan, dan lain sebagainya. Banyaknya kenampakan alam ini tentu saja menuntut adanya penamaan yang umum atau yang disepakati bersama oleh orang supaya pengacuan terhadap setiap unsur alam ini bisa tepat. Penamaan yang umum atau konvensional tentu saja sangat penting agar tidak ada kesalahan ketika berkomunikasi. Sebagai contoh, sebuah gunung yang berada di sebelah utara Yogyakarta, orang biasa menyebut gunung tersebut dengan nama Gunung Merapi. Namun, jika ada seseorang yang menyebut gunung tersebut dengan nama Bromo dan menyampaikan kepada orang lain bahwa dia sedang berada di Gunung Bromo, tentu saja akan terjadi kesalahan pengacuan lokasi yang bisa memiliki dampak yang bermacam-macam. Itu adalah contoh sederhana.

Penamanan terhadap unsur topografi disebut dengan toponim. Topografi dalam bahasa Indonesia biasa juga disebut dengan unsur rupabumi atau muka bumi yang diasosiasikan pada gambaran relief permukaan bumi dalam tiga dimensi yang menggambarkan konfigurasi tinggi rendah medan muka bumi (hipsografi). Secara harfiah, toponim berasal dari kata toponym yang tersusun dari dua kata, yaitu topos yang berarti tempat atau permukaan yang ada di bumi dan nym dari kata onyma yang berarti nama. Raper (dalam Rais 2008: 5) menyebutkan bahwa toponim memiliki dua pengertian, yaitu (1) ilmu yang mempunyai objek studi tentang toponim pada umumnya dan tentang nama geografis khususnya; dan (2) totalitas dari toponim dalam suatu region.

Setiap nama geografi yang dimiliki suatu rupabumi memiliki makna. Ada latar belakang khusus yang menjadi dasar penamaan unsur rupabumi tersebut. Pemberian nama pada suatu tempat biasanya mengandung sebab atau maksud tertentu, seperti nama tempat berdasarkan topografi atau keadaan alam tempat itu.  Selain keadaan alam, suatu tempat juga biasanya diberi nama berdasarkan nama-nama tumbuhan, nama-nama tempat, kelompok etnis, profesi utama penduduk, dan nama asing (Ruchiat, 2012: xiii). Nama-nama tempat seperti Kemang, Mangga Besar, Gambir adalah contoh nama tempat berdasarkan nama tumbuhan. Contoh nama tempat yang berdasarkan nama tempat/ unsur rupabumi adalah Rawa Kebo, Kalideres, dll. Nama berdasarkan profesi misalnya Penjaringan, Petukangan, Kemayoran, dan Kemandoran. Nama berdasarkan kelompok etnis misalnya Kampung Ambon, Kampung Melayu, Pekojan, Pecinan. Nama modern yang biasanya diambil dari nama asing biasanya terdapat pada hunian modern hasil buatan pengembang, misalnya Lake Side, Jakarta garden City, dll. Selain nama-nama tersebut, nama yang sering dipakai dalam penamaan tempat adaah nama yang berkaitan dengan harapan. Nama seperti Jayakarta, Sidomulyo, Sidomukti adalah contoh nama yang dikaitkan dengan pengharapan.

Toponimi atau nama suatu unsur rupabumi biasanya dinamai oleh penduduk setempat dengan menggunakan bahasa yang digunakan oleh penduduk pertama yang meninggali tempat tersebut. Dalam penamaan unsur rupabumi tercakup elemen generik dan elemen spesifik yang disebut juga sebagai nama generik dan nama spesifik. Elemen atau nama generik dari suatu unsur rupabumi mencerminkan migrasi manusia pada masa lalu (Rais, 2008: 84). Dari pandangan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa nama rupabumi bisa digunakan sebagai alat bantu untuk menelusuri kehidupan masyarakat masa lampau yang menempati daerah tersebut dan bagaimana persebaran dan budaya yang dimiliki daerah tersebut pada masa lampau.

Toponim suatu daerah merupakan identitas yang membedakannya dengan daerah lain, karena toponim merupakan hasil kebudayaan masyarakat di suatu daerah yang bersumber dari hubungan timbal baliknya dengan lingkungan di sekitarnya, baik aspek fisik maupun nonfisik.

Kabupaten Kebumen merupakan kabupaten yang berada di wilayah selatan Jawa Tengah. Nama Kebumen sendiri merupakan nama yang berkaitan dengan pendiri Kabupaten Kebumen, yaitu Kyai Bumidirjo dan Kerajaan Mataram Islam. Kyai Bumidirjo adalah seorang ulama di Kerajaan Mataram yang juga bertindak sebagai penasihat Raja Amangkurat I. Sebagai penasihat, beliau termasuk orang yang berani menyampaikan kebenaran dengan tegas. Oleh karena itu, ketika Sultan memilih bersekutu dengan Belanda, Kyai Bumidirjo menentang hal tersebut dan dia melarikan diri dari Mataram saat tahu bahwa dia akan dijatuhi hukuman. Dalam pelarian, Kyai Bumidirjo menggunakan nama Ki Bumi. Dalam pelariannya, beliau pergi ke daerah Panjer. Oleh Ki Panjer, Ki Bumi diberi sebidang tanah untuk tempat tinggal. Ki Bumi kemudian membuat padepokan di tanah tersebut yang kemudian padepokan oleh orang-orang disebut dengan Ki Bumi-an. Nama tersebut kemudian berkembang menjadi kebumen.

Toponimi Kebumen ini juga sekaligus membuktikan bahwa ada makna, kisah, legenda, atau budaya yang mendasari penamaan suatu unsur rupabumi. Berangkat dari hal tersebut, penulis akan membuat kajian tentang sistem toponimi yang digunakan di wilayah (desa-desa) Kabupaten Kebumen. Beberapa makna dari nama geografis tersebut juga akan penulis coba deskripsikan dalam kajian ini.

Metode Pengkajian

Penelitian ini mengambil toponimi nama-nama desa yang berada di wilayah Kebumen. Sistem toponimi yang digunakan dalam penamaan desa-desa tersebut adalah hal yang akan penulis kaji. Selain itu, penulis juga akan mengkaji sampel nama desa yang akan penulis uraikan makna dan budaya ataupun latar belakang sosial yang mendasari toponimi tersebut. Data adalah nama-nama desa di Kebumen yang berjumlah 449 desa. Metode yang digunakan menggunakan metode deskriptif kualitatif.

Pembahasan

Menurut Mutakin (dalam Ruspandi, 2014), paling sedikit ada dua pengalaman yang dipertimbangkan untuk nama tempat. Pertama, pengalaman fenomena yang dihasilkan oleh proses-proses alam dan yang dihasilkan oleh rekayasa manusia. Kedua, pemberian nama tempat mungkin didasarkan pada gagasan, harapan, cita-cita, dan cita rasa manusia terhadap tempat tersebut agar sesuai dengan yang dikehendakinya, atau sesuai dengan ciri atau sifat yang telah diberikan oleh alam itu sendiri (Given). Fenomena-fenomena yang spesifik atau dominan, biasanya terpilih menjadi nama tempat dimana fenomena itu hadir atau pernah hadir di tempat tersebut.

Beberapa Cara Umum Pengambilan Nama Desa di Kabupaten Kebumen

a.       Berdasarkan tempat tinggal tokoh

Tokoh-tokoh yang berperan di masyarakat zaman dahulu yang biasanya memiliki kelebihan, seperti kesaktian, kekayaan, kekuasaan, dan keturunan orang keraton namanya digunakan sebagai nama tempat orang tersebut berada. Tempat tersebut bisa merupakan tempat tinggal tetap, bisa juga hanya merupakan tempat sementara, atau bahkan hanya pernah menjadi tempat ketika seorang tokoh mengalami sebuah peristiwa. Desa/ kota Gombong, Kebumen, Lerepbumen, Bumiharjo adalah contohnya. Gombong merupakan tempat tinggal (pelarian) dari Ki Gombong Wijaya yang merupakan prajurit Pangeran Diponegoro dari Banyumas setelah Banyumas diduduki oleh Belanda. Lerepbumen merupakan tempat pemberhentian (lerep) Ki Bumi (pendiri Kebumen) saat lari dari kejaran tentara Mataram.

b.      Berdasarkan benda alam yang menjadi ciri khas tempat

Benda alam yang menonjol biasa dijadikan pengacuan oleh orang ketika menunjuk suatu tempat. Untuk tempat yang belum memiliki nama, benda alam tersebut lama-kelaman bisa dijadikan sebagai nama dari tempat tersebut. Hal itu juga terjadi di Kebumen. Contoh nama daerah di Kebumen yang dibuat berdasarkan benda alam yang menjadi ciri khas suatu tempat adalah Karangbolong dan Rowo. Di Desa Karangbolong yang berada di pinggir laut selatan dapat ditemui batu karang yang berlubang. Batu karang tersebut terkenal karena konon ceritanya bisa dijadikan sebagi tempat bertemu dengan penguasa laut selatan. Benda alam yang menonjol ini akhirnya menjadi nama tempat tersebut, yaitu Karangbolong ‘karang yang berlubang’.

c.       Berdasarkan binatang dan tumbuhan yang menonjol di tempat tersebut

Suatu tempat yang tidak bernama, misalnya hutan atau gunung atau tanah kosong biasanya memiliki tumbuhan atau hewan yang menonjol dan banyak diketahui oleh orang karena keunikan atau peristiwa yang pernah aneh. Tumbuhan atau binatang tersebut biasanya digunakan untuk pengacuan tempat tersebut yang lama kelamaan orang akan terbiasa menyebut nama tempat tersebut dengan nama binatang atau tumbuhan itu. Nama desa Jatijajar, Lumbu adalah contohnya. Menurut kisahnya, di desa Jatijajar dulu ada tanaman jati yang tumbuh secara berjajar rapi. Karena tumbuhnya yang berjajar dan dianggap unik itu, ketika orang mengacu ke tempat tersebut orang menyebutnya dengan tempat yang ada pohon jati berjajar (jejer). Daerah Lumbu juga seperti itu. Daerah yang berada di bagian utara wilayah Kebumen ini berada di daerah pegunungan. Konon, di sana dulu ada banyak sekali pohon lumbu (talas) sehingga nama daerah itu menjadi lumbu. Kasus sama juga dengan nama desa Plumbon.

d.      Berdasarkan unsur buatan manusia yang menonjol di suatu tempat

Nama-nama yang didasarkan pada hasil buatan manusia, misalnya Tambakharjo, Tambakagung, Tugu. Daerah yang memiliki nama genetik tambak adalah desa-desa yang berada di pinggiran laut yang di situ bisa digunakan sebagai tempat beternak ikan atau bertambak.

e.       Berdasarkan profesi dan asal kebanyakan penduduknya

Profesi kebanyakan penduduk bisa juga dijadikan sebagai pengacuan suatu tempat yang lama-kelamaan menjadi nama tempat tersebut. Contoh daerah yang menggunakan nama profesi kebanyakan penduduk untuk menamai tempat adalah Dukuh Sudagaran yang merupakan daerah tempat tinggal para pedagang/ saudagar di Kecamatan Kutowinangun, Kebumen.

Sistem Toponimi Desa di Kabupaten Kebumen

No

Fenomena alam, buatan

Toponimi

1.

Unsur rupabumi alami

Kalijaya, Kaliputih, Kalirancang, Kalibangkang, Kalipoh, Kalibening  Kalirejo, Kalibagor, Kalijirek, Kalirejo, Kaliwungu, Kalipurwo, Kalibeji, selogiri, Sendangdalem, Watulawang, Wonokromo, wonotirto, Tlogowulung, Karangkembang, Karangtanjung,  Karangbolong, Karanganyar  Karangkemiri  Karangsari, karanggayam,  Karangmojo    Karangrejo, Karangtengah, Karangsambung, Karanggede  ,Karangglonggong , Karangduwur, Karanggadung,  Karangrejo, tlogosari, tlogorejo, watukelir, rowosari, wonokriyo, wonosigro, Wonoyoso   wonorejo,  Wonosari, giripurno, giritirto, gunungsari, Gunungmujil, Wadasmalang   Rowo

2.

Unsur alam buatan

Tambakharjo,  Tambakagung, Tambaksari, Tambakprogaten ,tugu, kedungpuji, Kedungwaru   Kedungsari   Kedungdowo, Kedungwinangun, Bendungan

3.

Tanaman

Sekarteja, Jatimulya,  Jatisari ,  jatiroto, pagedangan, kembangsawit, kloposawit, klopogodo rantewringin,  pucangan, jatijajar, Gadungrejo, Sarwogadung, Jatimalang  Jatipurus, Jerukagung, Korowelang, Lumbu, pesalakan, Lembupurwo, Pejengkolan, plumbon

4.

Hewan

Singosari, nogoraji, ayamputih, Kawedusan   buluspesantren, Gemeksekti, Pejagoan

5.

Tempat suci

Candi Wulan, Candirejo, candi, Candimulyo, Candiwulan

6.

Harapan

Adikarto, Adiluhur, Adimulyo, Sidamukti,  Sidamulyo, Sugihwaras, Sidoluhur, Sidomukti, Sidomulyo, Sirnoboyo, jogomulyo, Arjowinangun, waluyo, Muktirejo, Muktisari,  Podoluhur, Kutowinangun, Kamulyan,  Kuwarasan, Sidomukti, Rahayu, Podourip,  Sidomulyo, Tresnorejo  

7.

Tempat khusus

Kemangguhan, sawangan, kradenan, kaibon, kaibonpetangkuran, surobayan, demangsari, gombong, patemon, plarangan, panjatan, kajoran, Totogan,   Kebumen  

 

Berdasarkan pengelompokkan nama-nama desa di Kabupaten Kebumen, dapat diketahui bahwa

1.      nama paling umum yang digunakan untuk menamai desa adalah nama hasil proses alam. Penggunaan nama-nama alam ini menunjukkan bahwa wilayah Kebumen pada awalnya merupakan wilayah yang banyak ditutup oleh rupa-rupa muka bumi, seperti sungai, gunung, wono ‘hutan’, telaga, karang.

2.      Nama tumbuhan yang banyak digunakan dalam penamaan desa-desa di Kebumen juga mendukung ciri yang pertama karena bentang-bentang alam, biasanya ditandai dengan adanya tumbuhan-tumbuhan tertentu yang menjadi ciri. Tumbuhan yang menjadi ciri suatu tempat yang menonjol biasanya akan dijadikan sebagai nama tempat tersebut yang kemudian akan menjadi nama resmi desa.

3.      Nama-nama tempat suci, yang hanya candi, menunjukkan budaya asli Kebumen adalah Hindu-Budha.

4.      Nama yang berkaitan dengan harapan juga menunjukkan budaya orang-orang yang percaya bahwa nama bisa mempengaruhi keberuntungan orang. Itu tidak asing dengan budaya Jawa yang percaya bahwa nama bisa berdampak pada pemilik nama. Sebut saja kasus penggatian nama/ paraban yang sering dilakukan oleh orang zaman dahulu kepada anak yang biasanya sering sakit atau bermasalah dengan “mistis”.

5.      Nama-nama dalam sistem toponimi di Kabupaten Kebumen sama dengan sistem toponimi yang umum dipakai di daerah-daerah lain. Sistem penamaanya diawali dengan nama generik baru kemudian diikuti nama spesifik, seperti Kaliwatu, Gunungmujil, dll. Kali ‘sungai’ dan gunung merupakan nama generik, sedangkan watu dan mujil merupakan nama spesifik dari rupabumi tersebut.

 

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa toponimi desa-desa di Kabupaten Kebumen secara umum dapat dikelompokkan ke dalam beberapa aspek, yaitu aspek alam, hewan, tumbuhan, tempat khusus, dan harapan. Aspek-aspek itu terlihat dari nama-nama berikut, (1) Nama yang berkaitan dengan hewan: Buayan, Ayam Putih, Bulus Pesantren, Kawedusan; (2) tumbuhan: Sekarteja, Kembang Sawit, Pucangan, Jati Jajar (3) benda alam: Karang Tanjung, Krakal, Pasir, Watukelir; (5) harapan: Adimulyo,  Arjomulyo, Sidamukti, Sidamulyo, Sugihwaras, Kutowinangun, Sinungreja, Kuwarasan, Podourip. Aspek unsur alam adalah yang palin dominan. Aspek harapan yang juga banyak ditemui menunjukkan bahwa masyarakat Kebumen sejak dulu sudah memiliki budaya berupa keyakinan bahwa nama akan membawa pengaruh pada penyamdang nama sehingga dengan pemberian nama berupa harapan, seperti  mulyo, rejo, winangun, mukti, dan waras diharapkan penduduk yang tinggal di wilayah tersebut akan memperoleh kebaikan sesuai harapan tersebut.

 Publikasi artikel ini bisa dilihat di sini.


Referensi

Rais, Jacob dkk. 2008. Toponimi Indonesia: Sejarah Budaya Bangsa yang Panjang dari Permukiman Manusia dan Tertib Administrasi. Jakarta: Pradnya Paramita.

Ruchiat, Rahmat. 2012. Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta.

Ruspandi, Jeko dan Asep Mulyadi. 2014. “Fenomena Geografi di Balik Makna Toponimi di Kota Cirebon. Jurnal Gea Volume 14 Nomor 23.

Suratminto, Lilie. 2016. “Nama-nama Tempat di Jakarta dan Kaitannya dengan Masa Kolonial. Makalah yang disajikan dalam Seminar Toponimi yang diselenggarakan PPKB FIB UI, pada Kamis, 3 November 2016.


Demikian artikel info tentang : , semoga bermanfaat bagi kita semua.

Posting Komentar

 
Top