Bahasa baku adalah salah satu variasi bahasa (dari sekian banyak variasi) yang diangkat dan disepakati sebagai ragam bahasa yang akan dijadikan tolak ukur sebagai bahasa yang ”baik dan benar” dalam komunikasi yang bersiat resmi, baik secara lisan maupun tulisan.
Ragam baku adalah ragam bahasa yang sama dengan bahasa resmi kenegaraan yang digunakan dalam situasi resmi kenegaraan, termasuk dalam pendidikan, dalam buku pelajaran dalam undang-undang, dan sebagainya
Halim (1980) mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian warga masyarakat pemakainya sebagai ragam resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dan penggunaannya. Dittmar (1976:8) mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam ujaran dari satu masyarakat bahasa yang disahkan sebagai norma keharusan bagi pergaulan sosial atas kepentingan dari berbagai pihak yang dominan di dalam masyarakat itu. Hartmann dan Stork (1972:218) mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang secara sosial lebih digandrungi, seringkali lebih besar berdasarkan ujaran orang-orang yang berpendidikan di dalam dan di sekitar pusat kebudayaan dan atau politik suatu masyarakat tutur. Pei dan Geynor (1954:203) mengatakan bahwa bahasa baku adalah dialek suatu bahasa yang memiliki keistimewaan, sastra dan budaya melebihi dialek-dialek lainnya, dan disepakati penutur dialek-dialek lain sebagai bentuk bahasa yang paling sempurna.
2. Fungsi Bahasa Baku
Gravin dan Mathiot (1956:785-787) juga mempunyai fungsi lain yang bersifat sosial politik, yaitu (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemisah, (3) fungsi harga diri, dan (4) fungsi kerangka acuan.
Yang dimaksud dengan fungsi pemersatu (the unifying function) adalah kesanggupan bahasa baku untuk menghilangkan perbedaan variasi dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan fungsi pemisah (separatist function) adalah bahwa ragam bahasa baku itu dapat memisahkan atau membedakan penggunaan ragam bahasa tersebut untuk situasi yang formal dan yang tidak formal. Yang dimaksud dengan fungsi harga diri (prestige function) adalah bahwa pemakai ragam baku itu akan memiliki perasaan harga diri yang lebih tinggi daripada yang tidak dapat menggunakannya, sebab ragam bahasa baku biasanya tidak dapat dipelajari dari lingkungan keluarga atau lingkungan hidup sehari-hari. Fishman (1970) mengatakan bahwa ragam bahasa baku mencerminkan cahaya kemuliaan, sejarah, dan keunikan seluruh rakyat. Yang dimaksud dengan fungsi kerangka acuan (frame of reference function) adalah bahwa ragam bahasa baku itu akan dijadikan tolak ukur untuk norma pemakaian bahasa yang baik dan benar secara umum.
Keempat fungsi itu dapat dilakukan oleh sebuah ragam bahasa baku kalau ragam bahasa baku itu telah memiliki tiga ciri yang sangat penting, yaitu (1) memiliki ciri kemantapan yang dinamis, (2) memiliki ciri kecendekiaan, dan (3) memiliki ciri kerasionalan.
3. Pemilihan Ragam Baku
Moeliono (1975:2) mengatakan bahwa pada umumnya yang layak dianggap baku ialah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kewibawaannya. Sebenarnya banyak dasar atau kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan atau memilih sebuah ragam menjadi ragam bahasa baku. Dasar atau kriteria itu, antara lain, (1) otoritas, (2) bahasa penulis-penulis terkenal, (3) demokrasi, (4) logika, dan (5) bahasa orang-orang yang dianggap terkemuka dalam masyarakat.
Usaha pembakuan bahasa, sebagai salah satu usaha pembinaan dan pengembangan bahasa, tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari berbagai sarana. Antara lain : (1) pendidikan, (2) industri baku, (3) perpustakaan, (4) administrasi negara, (5) media massa, (6) tenaga, dan (7) penelitian.
4. Bahasa Indonesia Baku
Pembakuan dalam bidang ejaan telah selesai dilakuakn untuk bahasa Indonesia. Pembakuan ejaan ini telah melalui proses yang cukup panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan Van Ophuijsen pada tahun 1901, dilanjutkan dengan perbaikannya yang disebut ejaan Suwandi atau ejaan republik pada tahun 1947; lalu diteruskan dengan penyempurnaannya dengan ditetapkannya Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) pada tahun 1972 (dan revisinya pada tahun 1988). Yang agak menarik adalah bahwa EYD juga berlaku untuk bahasa Malaysia di Malaysia dan Bahasa Melayu di Brunei Darussalam. Yang diatur dalam ejaan adalah cara menggunakan huruf; cara penulisan kata dasar, kata ulang, kata gabung; cara penulisan kalimat; dan juga cara penulisan unsur-unsur serapan.
Pembakuan bahasa Indonesia dalam bidang kosakata dan peristilahan juga telah lama dilakukan. Kebakuan unsur leksikal dapat dilihat dari (1) ejaannya, (2) lafalnya, (3) bentuknya, dan (4) sumber pengambilannya. Baku menurut ejaan dan lafal sudah dibicarakan di atas. Halim (1980) manyatakan perlu dibedakannya ragam baku lisan dan ragam baku tulis.
Sumber :
ABDUL CHAER & LEONIE AGUSTINA (Sosiolinguistik)
Posting Komentar