1. Sikap Bahasa
Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Sesungguhnya, sikap itu adalah fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Namun, menurut banyak penilitian tidak selalu yang dilakukan secara lahiriah merupakan cerminan dari sikap batiniah.

Triandis (1971:2-4) berpendapat bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Menurut Allport (1935), sikap adalah kesiapan mental dan saraf, yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu. Lambert (1967:91-102) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.

Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik, memiliki nilai rasa baik atau suka terhadap sesuatu atau suatu keadaan. Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai ”putusan akhir” kesiapan reaktif terhadap suatu keadaan.

Edward (1957:7) mengatakan bahwa sikap hanyalah salah satu faktor, yang juga tidak dominan, dalam menentukan perilaku. Oppenheim (1976:71-75) malah lebih tegas meyatakan, bahwa kita belum tentu dapat menentukan perilaku atas dasar sikap. Sedangkan Sugar (1967) berdasarkan penelitiannya memberi kesimpulan bahwa perilaku itu ditentukan oleh empat buah faktor utama, yaitu sikap, norma sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin terjadi. Dari keempat faktor itu dikatakan bahwa kebiasaan adalah faktor yang paling kuat, sedangkan sikap merupakan faktor yang paling lemah. Jadi, dengan demikian jelas bahwa sikap bukan satu-satunya faktor yang menentukan perilaku, dan juga bukan yang paling menentukan. Yang paling menentuan perilaku adalah kebiasaan.

Selain dengan Sugar, maka Oppenheim (1976:75-76) menyatakan bahwa kita belum tentu dapat meramalkan perbuatan atas dasar sikap belaka. Edward (1957) menegaskan bahwa sikap sebagai penentu perbuatan hanyalah merupakan salah satu faktor saja, dan belum tentu merupakan faktor yang terkuat. Triandis (1971:6-16) menyatakan bahwa asumsi yang mengatakan sikap merupakan faktor perbuatan seseorang adalah tidak benar, paling tidak suatu pernyataan yang lemah. Anderson (1974:37) membagi sikap atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan, dan (2) sikap nonkebahasaan), seperti sikap politik, sikap sosial, sikap estetis, dan sikap keagamaan. Menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya.

Ketiga ciri sikap bahasa yang dikemukakan Garvin dan Mathiot itu adalah (1) kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengeruh bahasa lain, (2) kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, (3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunkan bahasa (language use).

Berkenaan dengan sikap bahasa negatif terhadap bahasa Indonesia, Halim (1987:7) berpendapat bahwa jalan yang harus ditempuh untuk mengubah sikap negatif itu menjadi sikap bahasa yang positif adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma bahasa, disamping norma-norma sosial dan budaya yang ada di dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Menurut Lambert (1967) motivasi belajar ini mungkin berorientasi pada perbaikan nasib yang disebutnya orientasi instrumental, dan mungkin juga berorientasi pada keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yan bahasanya dipelajari, yang disebut orientasi integratif.

2. Pemilihan Bahasa
Menurut Fasold (1984) hal pertama yang terbayang bila kita memikirkan bahasa adalah ”bahasa keseluruhan” (whole languages). Dalam hal memilih ini ada tiga jenis pilihan yang dapat dilakukan, yaitu, pertama dengan alih kode, artinya, menggunakan satu bahasa pada satu keperluan, dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain. Kedua dengan melakukan campur kode, artinya, menggunakan satu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan-serpihan dari bahasa lain. Ketiga, dengan memlilih satu variasi bahasa yang sama.
Penelitian terhadap pemilihan bahasa menurut Fasold dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan disiplin ilmu, yaitu berdasarkan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Di Indonesia secara umum digunakan tiga buah bahasa dengan tiga domain sasaran, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.

sumber;
ABDUL CHAER & LEONIE AGUSTINA (Sosiolinguistik)
Demikian artikel info tentang : , semoga bermanfaat bagi kita semua.

Posting Komentar

 
Top