FUNGSI SASTRA

Sastra identik dengan keindahan yang mengandung nilai luhur masyarakat secara universal. Sastra menjanjikan sebuah pengalaman batin baru yang nikmat serta dapat diambil manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu fungsi sastra adalah sebagai hiburan para penikmatnya. Berikut adalah beberapa hal tentang fungsi sastra sebagai hiburan yang ditulis Puji Santosa di laman Badan Pusat Bahasa.

Sastra sebagai Hiburan
       
      Pujangga besar Yunani, Horatius dalam bukunya Ars Poetica (dalam Teeuw, 1984:183) menyatakan bahwa tujuan penyair menulis sajak adalah memberi nikmat dan berguna (dulce et utile). Sesuatu yang memberi nikmat atau kenikmatan berarti sesuatu itu dapat memberi hiburan, menyenangkan, menenteramkan, dan menyejukan hati yang susah. Sesuatu yang berguna adalah sesuatu yang dapat memberi manfaat, kegunaan, dan kehikmahan. Atas dasar pengertian bahwa sastra memberi nikmat dan berguna, Effendi (1982:232—238) menyebut sastra sebagai “kenikmatan dan kehikmahan”, yaitu kenikmatan dalam arti sastra memberi hiburan yang menyenangkan dan kehikmahan dalam arti sastra memberi sesuatu atau nilai yang berguna bagi kehidupan.

       Budi Darma (2004:4—7) secara tegas membedakan dua genre sastra, yaitu sastra serius dan sastra hiburan. Sastra serius adalah genre sastra untuk ditafsirkan atau sastra yang cenderung merangsang pembaca untuk menafsirkan atau menginterpretasikan makna karya sastra itu. Sastra hiburan adalah karya sastra untuk pelarian (escape) dari kebosanan, dari rutinitas sehari-hari, atau dari masalah yang sukar diselesaikan. Sastra hiburan, menurut Budi Darma, sifatnya menghibur sehingga banyak digemari pembaca. Karena banyak digemari, sastra hiburan juga dinamakan sastra pop, sastra populer.

      Budi Darma (2004:6) menjelaskan lebih lanjut bahwa salah satu ciri sastra hiburan adalah tokohnya tampan, kaya, dicintai, dikagumi, dan sanggup mengatasi segala macam masalah dengan mudah. Pembaca dipancing untuk melakukan identifikasi diri seolah dirinya adalah tokoh itu sendiri. Dengan memasuki sastra hiburan, pembaca merasa bahwa dirinya seolah serba hebat. Oleh karena itu, apa yang dipancing oleh sastra hiburan tidak lain adalah impian yang tidak mungkin dicapai. Pembaca dibuai bukan oleh masalah hakiki kehidupan, melainkan oleh ilusi.

      Berdasarkan pendapatnya itu, Budi Darma dengan tegas menyatakan bahwa sampai akhir tahun 1960-an hingga awal tahun 1970-an, di berbagai negara, termasuk Indonesia, objek studi sastra terbatas pada sastra serius. Studi sastra hiburan dianggap tidak sah karena tidak menawarkan apa-apa selain pelarian dari kebosanan belaka. Sastra hiburan hanya digunakan untuk iseng, bukan untuk studi yang serius. Pendapat Budi Darma itu tampaknya mengacu pendapat Damono (1999:144) tentang telaah sastra populer dan pendapat Sumardjo (1979:18) tentang ciri novel pop dan novel serius.

     Pendapat Budi Darma tentang sastra hiburan tersebut tampaknya mendapat sanggahan dari muridnya sendiri, Saryono (2009: 202—219), yang menyatakan bahwa sastra tidak hanya menghidangkan pengalaman, pengetahuan, dan kesadaran, tetapi juga hiburan karena sastra jenis apa pun (puisi, fiksi, dan drama) yang digubah secara jujur dan sungguh-sungguh selalu memancarkan sinyal permainan yang menyenangkan. Saryono juga memperkuat pendapatnya dengan pernyataan Huizinga (1990:167) bahwa puisi (sastra) merupakan suatu fungsi permainan. Sastra berlangsung dalam suatu ruang permainan mental, dalam suatu dunia yang diciptakan oleh jiwa bagi dirinya sendiri, segala sesuatu yang menampilkan wajah berbeda dengan wajah dalam “kehidupan biasa”, dan dihubungkan satu sama lain oleh ikatan yang lain daripada ikatan logika. Setiap puisi sekaligus ritus, hiburan dalam pesta, permainan pergaulan, kemahiran seni, ujian atau teka-teki yang harus dipecahkan, ajaran kebijaksanaan, bujukan, penyihiran, ramalan, nubuat, dan pertandingan. Jadi, setiap sastra, apa pun jenisnya, termasuk sastra serius, senantiasa memberikan hiburan dan kegiatan bagi yang menggelutinya serta memberikan hiburan bagi jiwa kita, batin kita.

        Hiburan yang diberikan oleh sastra berbeda dengan hiburan massa yang modelnya dikemas dalam binis pertunjukan dan teknologi canggih, seperti permainan sulap, sihir, musik, dan akrobat. Sastra menyajikan hiburan yang berisi permainan batin mengasyikan. Karya sastra juga dapat dipentaskan sebagai pertunjukan yang menghibur, seperti musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, pembacaan cerpen, atau pementasan fragmen novel atau cerita rakyat, bahkan karya sastra dapat dialihmediakan sebagai sinetron atau film. Meskipun demikian, janganlah karya sastra yang dipadukan dengan seni yang lain, seperti penambahan musik, tata lampu, tata busana, tata panggung, dan tata pentas, mengganggu penyampaian makna karya sastra yang menghibur dan berguna bagi kelangsungan kehidupan. Sastra yang memberikan hiburan mentalitas yang bermain-main dalam batin atau jiwa kita harus tetap hidup sekalipun dipadukan dengan berbagai seni lain.

     Sastra sesungguhnya menyajikan berbagai macam hiburan. Jenis atau macam hiburan yang ada dalam karya sastra sesungguhnya juga sangat bergantung pada kepekaan dan ketajaman intuisi pembaca. Pembaca yang peka dan tajam intuisinya akan dapat menangkap hal-hal yang bersifat menghibur yang terdapat dalam karya sastra. Ketika seseorang tengah membaca dan memahami karya sastra, ia akan menemukan gejala yang bersifat menghibur. Misalnya, sebagian besar masyarakat tradisional di pedesaan menganggap bahwa sastra (cerita lisan, dongeng, legenda, mite, epos, fabel, pelipur lara, pantun jenaka. dan teater rakyat) berfungsi sebagai hiburan. Hal itu berarti sastra dapat menyenangkan atau menyejukan hati mereka yang susah, resah, gelisah, dan kecewa. Dengan cara mendengarkan dan menonton pertunjukan pentas sastra lisan, mereka akan mendapatkan hiburan, yaitu hati merasa senang, sehingga untuk sementara waktu mereka dapat menghilangkan rasa penat, letih, lelah, sedih, dan kesal sehabis bekerja di kebun atau sehabis pulang dari melaut. Hal itu sesuai dengan keadaan masyarakat tradisional pedesaan yang masih jauh dari peradaban dunia masa kini yang modern.

     Dalam legenda dan pentas sastra lisan Marpalol, milik Suku Kafoa, di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, misalnya, dalam membangun rumah adat disajikan tari lego-lego, pencak silat kampung, atau atraksi seni sastra lain. Legenda Marpalol dipertunjukkan sebagai usaha masyarakat pedesaan mengibur mereka yang sedang membangun rumah adat. Selain itu, pentas pertunjukan Marpalol juga disajikan untuk menyambut kehadiran tamu kehormatan, acara hajatan pengantin, dan pesta adat yang lain. Pada saat pertunjukkan, masyarakat Kafoa hadir bersama-sama dalam keadaan suka cita menyatu dalam kebersamaan menikmati pertunjukan seni sastra lisan.

Ada bermacam-macam genre sastra yang memberi hiburan. Sastra yang menyajikan hiburan dapat dibedakan atas beberapa ragam berdasarkan isi dan bentuk penyampaiannya. Dari segi isi, karya sastra yang menyajikan hiburan dibedakan sebagai berikut.

    Karya sastra yang berisi kisah tentang kebodohan atau kedunguan manusia. Karya sastra seperti itu akan tercipta tokoh yang amat bodoh, seperti Pak Kaduk dan Pak Pandir, dalam sastra lama Melayu. Dalam karya sastra semacam itu orang bodoh atau dungu digunakan sebagai objek atau bahan olok-olokan, tertawaan, parodi, sindiran, ironi, dan sarkasme.

    Karya sastra yang berisi kisah tentang kemujuran atau keberuntungan seorang manusia. Karya sastra seperti itu akan tercipta tokoh yang sangat mujur, seperti Pak Belalang (versi Melayu), si Kabayan (versi Sunda), atau Pak Banjir (versi Jawa). Dalam karya sastra itu orang yang beruntung atau selalu mujur menjadi objek pelajaran tentang nasib baik seseorang, yaitu dengan usaha yang sedikit atau tanpa bekerja keras, seseorang mendapatkan penghasilan yang cukup atau lumayan, sehingga karya sastra sebagai parabel.

    Karya sastra yang berisi kisah tentang kemalangan seseorang. Karya sastra seperti itu akan tercipta tokoh yang malang atau sial, seperti Lebai Malang. Dalam karya sastra seperti itu dapat kita ambil hikmahnya, yaitu agar seseorang mantap menentukan pilihan, tidak tamak atau serakah, dan mau menerima apa yang menjadi bagiannya walaupun hanya sedikit.

    Karya sastra yang berisi kisah tentang seorang yang licik, penuh tipu muslihat. Karya sastra seperti itu tokohnya amat licin seperti belut, seperti tokoh si Luncai atau si Kabayan. Karya sastra itu dapat dijadikan pelajaran bagi seseorang untuk menggunakan akal pikirannya atau kecerdasan otaknya. Walaupun demikian, dalam menyampaikan karya sastra seperti itu, pertimbangan moral perlu diperhatikan agar pembaca tidak terjebak pada hal yang bersifat kelicikan dan tipu muslihat saja.

    Karya sastra yang berisi kisah tentang seseorang yang cerdik, penuh berakal, dan tahu ilmu siasat. Karya sastra seperti itu akan memunculkan tokoh legendaris dari Arab-Persia, seperti Abu Nawas, Ali Baba, atau si Sinbad. Dalam karya sastra seperti itu hendaknya disadari bahwa kemampuan berpikir, bersiasat, atau berakal cerdik diperlukan ketajaman analisis, kecermatan, dan kelemahan lawan bicara sehingga lawan bicara tidak dapat menyanggah.

Dari segi bentuk, karya sastra yang menyajikan hiburan dibedakan sebagai berikut.

    Sastra yang disampaikan dengan kata-kata yang mempunyai arti ganda atau bersifat permainan kata atau yang disebut dengan plesetan kata. Dalam sastra seperti itu isi cerita tidak dipentingkan, tetapi alurnya harus berurutan, dan yang terpenting mampu mempermainkan kata-kata sehingga cerita itu menimbulkan kelucuan yang menghibur pembaca.

    Sastra yang disampaikan dengan cara penuh kejutan yang mengungkapkan sejumlah masalah yang tidak terduga sebelumnya. Dalam sastra seperti itu penulis mampu mengecoh pembaca atau pendengar sehingga pembaca merasa kecele atau dibohongi. Dengan demikian, pembaca akan terhibur.

    Sastra yang disampaikan dengan cara mengungkapkan hal-hal yang bersifat tabu atau menggunakan kata-kata yang tidak senonoh. Agar tidak tampak vulgar dan dianggap pornografi, sastra seperti itu dikemas dengan kiasan, perlambang, atau idiom yang mudah dikenal pembaca.

    Sastra yang disampaikan dengan cara tidak wajar, aneh, atau absurd sehingga pembaca ikut tertawa dibuatnya. Biasanya cerita seperti itu disampaikan dengan cara yang berlawanan dengan kenyataan, tidak masuk akal atau tidak logis, sehingga pembaca merasakan sesuatu yang aneh dapat menghiburnya.

    Sastra yang disampaikan dengan cara menghadirkan tokoh yang berkarakter sebagai manusia yang nakal, usil, suka mengganggu orang lain, atau penuh pura-pura sehingga pembaca merasa terusik, jengkel, dan tertawa. Jenis sastra seperti itu memperlihatkan kepiawaian penulis dalam mengemas cerita sehingga menarik perhatian pembaca.

Sastra sebagai hiburan adalah karya sastra yang menyajikan sebuah karangan atau tulisan lengkap, baik puisi, cerita rekaan, maupun drama, yang berisi sesuatu yang dapat menghibur atau menyenangkan hati pembaca, dan memberikan permainan mental dalam batin pembaca. Oleh karena itu, pembaca diharapkan memperoleh nilai kenikmatan yang memberi rasa menyenangkan dari karya sastra yang dibacanya.

Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 1999. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikian Nasional.

Effendi, S. 1982. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.

Huizinga, Johan. 1990. Homo Ludens. Jakarta: LP3ES.

Santosa, Puji. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Sastra dalam Tanya-Jawab. Ende-Flores: Nusa Indah.

Santosa, Puji dkk. 2007. Menulis 2. Jakarta: Universitas Terbuka.

Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Sumardjo, Jakob. 1979. Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik. Yogyakarta: CV Nur Cahaya.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

sumber:
(http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/lamanv42/?q=detail_artikel/2606)


Demikian artikel info tentang : , semoga bermanfaat bagi kita semua.

Posting Komentar

 
Top